Resensi mengenai buku lawas pun dapat terbit kalau penulisnya terampil menyajikannya. Dan, itulah yang sering dilakukan si pemberi peringatan selama ini.
Misalnya, pada suatu hari besar tahun lalu, tulisannya dimuat sebuah harian besar di Jawa. Di situ, ia mengulas salah satu roman karangan Pramoedya Ananta Toer, yang u-nya masih oe.
Kendala berikutnya kutemukan dalam tips dan resep kedua (hlm. 46). Judulnya “5 Jalan Menjadi Pembaca Kritis”. Nomor 2 dari 5 tertulis: “Membaca karya-karya utama di setiap tema. Jika sastra, bacalah karya-karya klasik penting yang tertuju. Jika ekonomi, bacalah kitab-kitab klasik yang menjadi rujukan dan rekomendasi para periset yang menekuni bidang-bidang keilmuan tersebut.”
Pemilihan bahan bacaan di situ merujuk pada minat atau bidang studi yang ditekuni peresensi. Sebagai sarjana Pendidikan Agama Islam, aku punya minat di pendidikan dalam hubungannya dengan Islam dan kebudayaan. Juga, belakangan, aku mencoba menghubungkannya dengan sastra.
Apa saja referensi babon yang kumiliki, pernah atau sedang kubaca, atau perlu kucari dan beli nanti agar dapat menjadi “pembaca kritis”?
Dalam pendidikan, aku punya kumpulan karangannya Ki Hadjar Dewantara. Buku itu bersembunyi entah di mana dalam tumpukan-tumpukan bukuku. Mengenai Islam? Ada Islam dan Sekularisme dan Risalah Untuk Kaum Muslimin. Keduanya ditulis Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Sampai sekarang masih sukar untuk kupahami.
Masalah utamanya ada di referensi buku-buku sastra. Beberapa buku yang kumiliki terbit sebelum abad ke-21. Misalnya Rojan Revolusi-nya Ramadhan KH dan Karmila-nya Marga T. Kutemukan setelah menengok ke kiri.
Kemudian, di antara tumpukan buku di hadapanku saat menulis “resensi” atas Inilah Resensi ini, mataku berpapasan dengan Sitti Nurbaya-nya Marah Rusli. Agak ke atas ada Tidak Ada Esok garapan Mochtar Loebis.
Buku-buku itu memang tergolong lawas, tapi apakah dengan begitu masuk kategori klasik? Setahuku hanya karangan Marah Rusli yang memulai kemungkinan baru dalam sastra di Indonesia. Buku itu penting dalam sejarah kesusastraan kita. Namun, tiga lainnya tak kuketahui riwayatnya dengan pasti.
Halangan ketiga, setelah ini tak ada lagi, terlalu banyak mengeluh juga tidak baik, apapun yang berlebihan jelas buruk, ialah kemampuanku sendiri dalam menulis resensi sebuah buku. Aku sering memberi jarak dengan gagasan yang tertuang dalam buku. Dengan begitu, aku bisa menulis banyak mengenai pengalamanku dengan buku.