Menolak Lupa: Membangun Kesadaran Kolektif Lewat Kenangan (Bagian 3)

Catatan Muhammad Munir

Menulis seorang tokoh pejuang ibarat membuka halaman-halaman kertas yang telah lama dirayapi ketidaktahuan dan dipenuhi debu ketidakpedulian orang-orang zaman berikutnya. Saya tak tahu apakah ini bentuk ketidaktahuan atau justru kesengajaan untuk tidak memunculkan beberapa nama pejuang yang jasanya sangat besar pada negeri ini.

Jika ini adalah kesengajaan, sungguh sebuah kedurhakaan pada pendahulu kita jika membiarkan mereka tak pernah terbaca atau diberi kesempatan untuk dibincang dalam forum-forum resmi.

Betapa tidak, ada banyak sosok penting yang hampir saja ditelan pengetahuan kecuali terbenam dalam ingatan pendek sekitar keluarga sang tokoh. Dapat dimaklumi bahwa dorongan penulisan buku sejarah seperti ini selalu melambat di internal keluarga, mungkin mereka sangat menjaga muruah dan keikhlasan tokoh atau pada dasarnya ada rasa yang mengganjal: masiri atau malu.

Itu tabiat dasar orang Mandar bila menyoal diri atau keluarga. Terlepas dari itu, kisah-kisah mereka penting untuk dikenal dan dikenang, pada kisah mereka silogisme atau tautan peristiwa demi peristiwa yang menjalarkan kengerian, sekaligus kekaguman luar biasa.

Kita mungkin abai pada mereka sebab tak pernah mendengar langsung cerita para pejuang saat tangsi Belanda di Majene seperti neraka bagi mereka, horor mencekam pikiran. Dinding tahanan di Majene, halaman rumputnya yang bercampur darah, drum-drumnya berkarat sebagai wadah makanan pejuang, dan tiang-tiang bangunan tempat ratusan pejuang diikat tanpa ampun.

Itu seperti slide yang bagi saya sangat menyayat imajinasi. Bahwa tempat seperti itu pernah ada dì Mandar, bahwa para pejuang itu pernah digebuk di sana. Bahwa jajar pejuang dan penghianat tak pernah pupus dari ingatan.

Daya tahan para pejuang yang dikisahkan dari berbagai cerita pribadi pejuang, dari sederet saksi sejarah yang pernah saya wawancarai, menjadi saksi sekaligus korban keganasan KNIL dan antek-anteknya seolah pembabaran, betapa kawasan ini pernah disinggahi peristiwa kelam yang melukai sisi kemanusian.

Para pejuang kemerdekaan Republik itu tidak hanya diburu, dan disiksa sedemikian licik namun segalanya telah dirampas sedemikian rupa. Saya pernah menyimak penuturan mengenai kegetiran hidup seorang algojo, seolah menyesali mengapa ia hidup di era saat Mandar dicekam kegelapan seperti itu.

Edisi kali ini, tetap menjadikan para tokoh pejuang yang hilang dalam daur penulisan sebagai obyek. Mereka itu antara lain:

Kandjuha

Kandjuha adalah pejuang yang tergabung dalam keanggotaan GAPRI 5.3.1. Ia diberikan amanah oleh Hj. Maemunah dan Djud Pantje sebagai pemimpin pasukan pasca meninggalnya M. Saleh Banjar. Kandjuha termasuk pejuang yang kurang diberi ruang apresiasi dari generasi Mandar.