Oleh: Moch. Ferdi Al Qadri
“Karena hanya dengan menggerakkan semesta, kita bisa benar-benar mencerdaskan bangsa.” Kalimat pamungkas ini teranggap penting agar tidak berhenti sampai di titik. Penulisnya, Furqan Mawardi, menginginkan agar pendidikan menjadi perhatian semua pihak, segala golongan, seluruh elemen dalam masyarakat. Dengan kata lain, semesta.
Menurutnya, mutu pendidikan sedang merosot. Pegangan moral pelajar semakin lemah. Pihak-pihak yang berkepentingan masih banyak yang abai. Kita mungkin terlena dengan “bonus demografi” sampai lupa yang namanya “bonus” tidak diperoleh secara gratis atau jatuh dari langit.
Pendidikan mandek. Lawan katanya adalah bergerak. Salah bila mengharapkan upaya pemerintah semata, atau hanya perhatian masyarakat, atau semangat guru-gurunya saja. “Ia harus digerakkan secara semesta,” tulis dosen Universitas Muhammadiyah Mamuju itu.
Gabungan “menggerakkan” dan “semesta” sangat mungkin terilhami dari tema Muktamar Muhammadiyah ke-48 (2023) di Surakarta. Saat itu, pasangan lema yang terpilih adalah “Mencerahkan Semesta”.
Dalam sebuah wawancara, Sekteraris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti menjelaskan maksud “mencerahkan semesta” sebagai perluasan perhatian Muhammadiyah kepada persoalan-persoalan kemanusiaan global. Dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah tidak berhenti di Indonesia, namun ke seluruh dunia.
Kita tidak ingin melanjutkan “mencerahkan semesta” mending istirahat sejenak dan mampir di Kamus Umum Bahasa Indonesia (1982) garapan WJS Poerwadarminta.
Di situ, kita dapati “menggerakkan” bisa secara harfiah dan istilah. Menggerakkan mesin maksudnya menjalankan mesin, menggerakkan hati maknanya membangkitkan hati, dan menggerakkan rakyat artinya membangkitkan kemauan rakyat untuk berusaha (beraksi dsb).
Kamus yang terbit menjelang abad XXI belum memuat entri “menggerakkan semesta”. Penelusuran bisa dilanjutkan dengan mengetik lema “menggerakkan” di bilah pencarian Kamus Besar Bahasa Indonesia VI Daring.
Setelah menekan “enter”, yang muncul di layar justru lebih sedikit dari keterangan yang ada di kamus (cetak). Lagi-lagi tidak ada keterangan mengenai “menggerakkan semesta”.
Kita boleh menganggap istilah yang digunakan Furqan Mawardi sebagai sesuatu yang baru meski perlu kajian lebih lanjut kemungkinan dimasukkan ke dalam kamus edisi terbaru.
Menggerakkan Bumi
Kita lalu mencoba membuat perbandingan. Yang dibandingkan dengan “menggerakkan semesta” ialah “menggerakkan bumi”. Manusia tentu tak bisa menggerakkan bumi secara harfiah (atau setidaknya sampai sekarang perkembangan teknologi belum memungkinkannya).
Bumi saja tidak bisa, terlebih lagi semesta. Namun, kita yang pernah atau sedang menonton Orb: On the Movement of the Earth, akan paham maksud dari kemampuan manusia “menggerakkan bumi”.
Cerita mengambil latar masa kejayaan gereja abad pertengahan. Saat itu, bumi diyakini adalah pusat semesta, posisinya paling bawah di antara planet-planet yang lain. Matahari, menurut gereja, berotasi mengelilingi bumi.
Di antara masyarakat yang tunduk-patuh pada gereja, ada segelintir cendekiawan yang sesat dan menyimpang. Mereka meneliti hal-hal tabu dan menulis buku-buku berisi bid’ah. Mereka meneliti pergerakan planet-planet, bintang-bintang, dan, yang terburuk, bumi.
Secara sembunyi-sembunyi, mereka mencari tahu kemungkinan adanya kekeliruan dalam doktrin gereja mengenai Geosentrisme. Sebaliknya, mereka menduga (amat keras) bahwa pusat semesta adalah matahari (Heliosentrisme).
Gereja tidak tinggal diam. Orang-orang sesat itu dikejar, disiksa, dan dibunuh. Satu mati (dibunuh), tumbuh satu. Satu mati (dibunuh) lagi, tumbuh tiga. Akhirnya, seperti peribahasa, mati satu, tumbuh seribu.
Kaum beriman makin meragukan gereja. Kaum bid’ah makin gencar menyerang keyakinan gereja. Masyarakat terpecah-belah.
Hingga, pada suatu masa, bumi berhasil “digerakkan”. Bumi tidak lagi lebih rendah kedudukannya di antara planet yang lain. Dengan begitu, ia merupakan bagian penting dan berharga, juga tak terpisahkan dari semesta.
Orang-orang itu berhasil “menggerakkan bumi” meski memakan waktu lama dan mengorbankan banyak nyawa. Mesin cetak dijalankan, hati masyarakat dibangkitkan, serta rakyat ikut berusaha dalam mencapai tujuan: menggerakkan bumi.
Sampai hari ini, kita belum menemukan bantahan yang sepadan dan ilmiah bahwa bumi bergerak. Lalu, bila kita hendak menggerakkan yang lebih besar dari bumi, yakni semesta, berapa banyak waktu dan nyawa yang siap kita korbankan?
Sumber Ilustrasi: Greg Rakozy, Unsplash