Massamaya, Menyelami Spirit Peradaban Banua Kaeyyang

Laporan: Fauzan

Menelusuri Jejak Spirit Peradaban Desa Napo sebagai Prakarsa Utama Istilah “Banua Kaeyyang”

Di bawah langit Napo yang tenang, sekelompok orang berjalan sunyi menuju makam raja. Mereka tidak sekadar berziarah—mereka tengah memanggil spirit peradaban Banua Kaeyyang melalui tradisi Massamaya, warisan sakral masyarakat Mandar.

Perjalanan ini diawali dengan doa—pengharapan kepada Tuhan dengan segala kerendahan hati, memohon kemurahan dan kebaikan kepada para leluhur atas perjuangan yang telah diniatkan bagi anak cucu di masa depan.

Doa dan pengharapan yang sama pernah dipanjatkan oleh para leluhur, agar keturunannya kelak hidup bahagia dan mencintai adat serta budaya luhur dalam keseharian mereka.

Salah satu tradisi adat yang masih dijaga oleh masyarakat Kecamatan Balanipa, Kabupaten Polewali Mandar, adalah Massamaya. Menurut Muhammad Adil Tambono, Massamaya merupakan kegiatan ziarah ke makam para leluhur di Cagar Budaya Makam I Manyambungi, Saleko, dan Buyung.

Adil Tambono, selaku ketua tim pelaksana kegiatan Banua Kaeyyang Multicultural Attraction, menjelaskan bahwa Massamaya dilakukan sebagai bentuk penghormatan sekaligus permohonan izin kepada para leluhur sebelum melaksanakan kegiatan kebudayaan.

Dalam referensi lain, budayawan Mandar yang dikenal dengan nama Tammalele (Abba) menjelaskan bahwa “Massamaya merupakan tinja’, atau hajatan spesial yang dilakukan oleh orang-orang tertentu untuk mencapai tujuan besar.”

Kegiatan Massamaya ini dilakukan dengan ziarah ke beberapa situs penting dalam sejarah Mandar, dimulai dari makam Raja pertama Kerajaan Balanipa, I Manyambungi bergelar Todilaling, kemudian dilanjutkan ke situs Saleko dan Buyung, yang keduanya merupakan tokoh atau tempat penting dalam struktur awal Kerajaan Balanipa.

Sebagai kerajaan besar yang kini menjadi bagian sejarah Kabupaten Polewali Mandar, Kerajaan Balanipa dahulu berpusat di wilayah yang dikenal dengan nama Appeq Banua Kaeyyang—yang mencakup empat negeri besar: Napo, Samasundu, Mosso, dan Todang-Todang.

Napo, dalam konteks sejarah ini, menjadi pusat awal peradaban dan merupakan tempat disemayamkannya Raja pertama serta para tokoh penting kerajaan. Di sinilah lahir istilah Banua Kaeyyang, yang kemudian menjadi landasan spiritual, budaya, dan politik dalam pembentukan Kerajaan Balanipa.

Atas dasar sejarah dan nilai-nilai inilah, Adil Tambono mengajak seluruh tim untuk melaksanakan kegiatan Massamaya, sebagai bentuk penghormatan, ucapan terima kasih, dan sarana edukasi spiritual kepada generasi masa kini. Tujuannya adalah agar kegiatan budaya yang dilaksanakan benar-benar terhubung dengan semangat dan energi masa lalu.

Massamaya merupakan salah satu rangkaian acara dalam kegiatan Banua Kaeyyang Multicultural Attraction, yang akan diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XVIII pada 23–25 Juli 2025 di Lapangan Kecamatan Balanipa.

Ada beberapa poin penting yang menjadi harapan dari kegiatan Massamaya ini:

  • Menarik dan menyatukan kembali spirit Banua Kaeyyang;
  • Memohon izin kepada para leluhur sebelum pelaksanaan kegiatan budaya;
  • Melakukan napak tilas sejarah, mengenal kembali tokoh-tokoh pendiri Kerajaan Balanipa.

Semangat dan motivasi inilah yang ingin ditularkan kepada seluruh panitia dan para seniman yang terlibat, bahwa kegiatan ini bukan sekadar pertunjukan seni, tetapi usaha untuk menjalin koneksi batin dan sejarah dengan leluhur. Ini adalah bentuk harmonisasi antara masa lalu, hari ini, dan masa depan.

Berangkat dari nilai-nilai peradaban awal Banua Kaeyyang, kegiatan ini akan menampilkan berbagai pertunjukan budaya yang erat kaitannya dengan warisan sejarah dan pembentukan Kerajaan Balanipa.

Banua Kaeyyang bukanlah istilah baru. Ia menyimpan sejarah panjang dan nilai-nilai filosofis yang dalam. Inisiatif pelestarian ini menjadi wujud rasa syukur seluruh tim yang berada di bawah naungan BPK Wilayah XVIII.

Bagi kami, menjadi bagian dalam kegiatan ini adalah sebuah anugerah. Banyak nilai, pengalaman, dan pelajaran yang kami dapatkan selama proses perencanaan dan latihan. Puncaknya adalah saat seluruh atraksi budaya ini akan disuguhkan kepada publik—sebagai motivasi dan pengingat bahwa akar kebudayaan kita senantiasa hidup dan layak untuk terus dirawat. (WM)