Makna Sukses: Cerita yang Tak Pernah Sama

Oleh: Muliadi Saleh
Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan
“Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban”

Sukses.
Satu kata yang kerap membuat mata berbinar, dada berdebar,
dan lidah ingin segera bercerita panjang lebar.
Namun, ketika ditanya: “Apa itu sukses?”,
setiap orang menjawab dengan cara yang berbeda.
Seolah sukses bukan satu rumah, tapi ribuan pintu yang terbuka ke arah yang tak sama.

Steve Jobs tak bicara soal rumah mewah atau saldo bank.
Ia hanya ingin “meninggalkan jejak di semesta”.
Sementara Oprah Winfrey berkata,
“Sukses itu saat kita membantu orang lain naik bersama kita.”
Bagi mereka, sukses bukan soal duduk di puncak,
tapi tentang siapa saja yang kau gandeng saat menapaki tangga.
Sukses bukan soal tinggi, tapi tentang arti.
Bukan seberapa banyak yang kita punya,
tapi seberapa dalam yang kita beri.

Psikolog menyebut sukses itu saat seseorang hidup sesuai nilai-nilainya.
Ekonom berkata, sukses adalah daya tahan: mampu bangkit setelah jatuh.
Pakar pendidikan menyebut: sukses adalah tumbuh—pelan, tapi pasti.
Howard Gardner mengingatkan:
“Jangan ukur seekor ikan dari kemampuannya memanjat pohon.”
Setiap manusia punya jalan dan versi suksesnya sendiri.
Tak perlu meminjam standar orang lain hanya agar kita tampak berhasil.

Dalam Al-Qur’an, sukses bukan sekadar soal dunia.
“Qad aflaha man tazakka”—beruntunglah orang yang menyucikan jiwa.
Sukses adalah bersihnya hati, lurusnya niat, dan indahnya akhlak.
Nabi Muhammad SAW bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.”
Sukses dalam Islam bukan soal status,
tapi soal seberapa banyak cahaya yang kau tebarkan.

Dalam tradisi Kristen, sukses disebut “vocation”—
panggilan hidup yang membuat seseorang merasa utuh, berarti, dan menjadi berkat.
Sementara dalam Buddhisme, sukses adalah kedamaian batin,
bukan kemenangan duniawi.

Di Toraja, orang merasa sukses saat bisa memuliakan orang tua yang wafat.
Di Bugis-Makassar, sukses tak bisa lepas dari “Siri’ na Pacce”—harga diri dan rasa peduli.
Di Minangkabau, sukses bukan soal tinggal di kota besar,
tapi soal kembali dengan ilmu dan martabat untuk membangun nagari.
Tradisi Nusantara mengajarkan bahwa sukses tak boleh membuat kita lupa darimana kita berasal.
Ia harus membumi, tak hanya membumbung.
Harus mengakar, tak sekadar menjulang.

Seorang ibu penjual gorengan di pinggir jalan berkata,
“Kalau anakku bisa sekolah sampai sarjana, saya sudah merasa sukses.”
Tak ada lampu sorot, tak ada piala,
tapi dari senyumnya, kita tahu: itu adalah sukses yang sejati.
Petani tua di Pasangkayu menatap sawahnya yang hijau lalu berkata,
“Cukup panen buat makan, cukup sehat buat kerja, dan cukup sabar untuk semua.”
Baginya, sukses tak perlu ramai.
Cukup tenang, cukup dalam.
Orang-orang biasa mengajarkan kita,
bahwa sukses tak perlu diumumkan.
Ia terasa, bukan dipamerkan.

Di bangku kuliah, sukses sering diukur dari IPK dan skripsi.
Tapi di lapangan hidup, sukses adalah saat kita tak menyerah meski jatuh berkali-kali.
Pengalaman seringkali guru paling sabar,
yang mengajarkan bahwa gagal bukan akhir,
tapi jalan memutar menuju paham yang lebih dalam.
Pendidikan sejati bukan soal nilai ujian,
tapi tentang nilai hidup.
Bukan seberapa cepat lulus,
tapi seberapa dalam belajar.
Sukses seorang pemimpin bukan diukur dari lamanya ia berkuasa,
tapi dari seberapa banyak yang ia mensejahterakan.
Bukan dari seberapa sering ia bicara,
tapi dari keputusan yang melahirkan keadilan dan harapan.
Pemimpin yang sukses adalah ia yang hadir saat dibutuhkan,
mengayomi tanpa pamrih,
dan meninggalkan jejak kebaikan,
bukan hanya nama dalam buku sejarah.
Sukses bukan selalu naik jabatan,
tapi bisa tidur nyenyak tanpa rasa bersalah.
Bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki,
tapi seberapa banyak yang kita syukuri.
Ia bukan selalu dalam bentuk gelar,
tapi dalam bentuk sabar.
Bukan dalam bentuk barang mewah,
tapi dalam bentuk peluk hangat dari anak kecil yang berkata: “Ayah hebat!”

Sukses, kadang hadir dalam sunyi.
Saat seseorang memilih jujur,
meski itu berarti kehilangan kesempatan.
Saat seorang gadis menolak menikah muda demi melanjutkan sekolah.
Saat seorang pemuda berhenti dari pekerjaan bergaji besar,
demi merawat ibunya yang sakit.

Jangan buru-buru menilai orang lain gagal,
karena kau tak tahu apa yang sedang ia perjuangkan.
Jangan terlalu cepat merasa kalah,
karena sukses bukan garis lurus, tapi jalan berliku.
Sukses bukan destinasi tunggal.
Ia punya banyak bentuk,
bisa hadir di rumah kecil yang penuh tawa,
atau di warung kopi tempat seorang penulis menuntaskan naskah hidupnya.

Sukses bagi penulis adalah saat tulisannya menggerakkan.
Bukan sekadar dibaca, tapi direnungkan.Bukan sekadar viral, tapi bermakna.Penulis sukses bukan hanya yang banyak menposting dan cetak ulang,
tapi yang menulis ulang luka menjadi doa,
resah menjadi makna,
dan sepi menjadi harapan.
Jadi jika engkau menulis dan tak lelah menebar kebaikan,
jika kata-katamu lahir dari cinta dan keyakinan,
maka kau pun sudah menjadi: penulis yang sukses.

Jangan biarkan standar orang lain
menghapus kebahagiaanmu hari ini.
Jika hatimu damai,
jika keluargamu sehat,
jika kamu masih bisa bersyukur dan memberi,
maka kau sudah sampai di pelabuhan bernama: sukses.