Lutut Siapa “Bergetar” Saat Melewati Pagar Makam Rasulullah?

MANDARNESIA.COM, Madinah — Sejak jamaah berada di Madinah -sepenuhnya memang hanya menghabiskan waktu di Baitunnabi (Masjid Nabawi), terutama untuk melaksanakan sunnah arbain. Arbain merupakan amalan untuk-melaksanakan sholat fardu sebanyak -paling kurang 40 rakaat secara berjamaah berturut-turut di Masjid Nabawi.

Terdapat amalan lain selain arbain. Malah amalan ini teramat penting ketika berada di Madina. Yakni mensiarahi makam Rasulullah. Tidak siarah ke makam Rasulllulah serasa sangat ganjil.

Makam nabi sendiri berada dalam masjid Nabawi. Dalam sejarahnya, dahulu tempat ini adalah kamar beliau dan istri nabi Aisyah Radhiallahu Anha (RA) binti Abu Bakar Ash-Shiddiq. Sebelum diperluas, makam Rasululullah SAW dahulu dikenal dengan nama Masqurah. Namun setelah Masjid Nabawi diperluas, makam Rasulullah masuk dalam bangunan masjid yang ditandai dengan kubah berwarna hijau tepat di atasnya.

Sebelumnya Ishaq Zubaidi Rakib (petugas haji 2024 Daker Mekah) menurunkan tulisan seputar makam Rasulullah termasuk bagaimana kejiwaan para jamaah saat siarah ke makam nabi. Disebutkan respon kejiwaan pesiarah itu terbagi ke dalam dua fenomena.

Pagar Makam Rasulullah. (Foto: Usman Suhuriah)

Pertama, fenomena “syuhudi”. Fenomena ini adalah mereka yang bisa menyaksikan/merasakan “kehadiran” Rasulullah, “menyaksikan perjumpaannya dengan Rasulullah. Yang masuk di fenomena ini berada dalam derajat kejiwaan berlebih yang dianugerahkan Allah kepada hambaNya. Fenomena syuhudi ada di dalam derajat yang tinggi.

Kedua, fenomena “tashdiq”. Adalah mereka yang mengesahkan keberadaan nabi sebagai suri tauladan, sebagai pembawa risalah, sebagai nabi utama, pemberi syafaat dst. Namun kepercayaan-kepercayaan itu belum mencapai perasaan atas “kehadiran” Rasulullah di dalam benaknya. Kehadiran Rasulullah sama sekali tak dapat dikecap sebagai pesona dalam jiwanya.

Tentulah mereka yang masuk dalam fenomena syuhudi (saat siarah ke makam Rasulullah) sama artinya datang memohon izin kepada Rasulullah yang mulia berkenan menerimanya sebagai pesiarah, sebagai tamu. Para syuhudi tetap dalam kerendahan hati, bahwa benar mereka datang tetapi dengan rasa malu. Datang dari jauh namun memanggul dosa. Para syuhudi merasa bahwa baginya telah “mengingkari” kecintaan Rasulullah.

Dan meski demikian, tetaplah merendah dengan kata -kata, “As Salaamu ‘alayka ya Rasulallah –Salam untukmu, Duhai Rasulullah…,” Maka pada saatnyalah mereka bergetar. Bergetar saat melewati makam Rasulullilah ibn Abdillah. Lutut mereka “bergetar” saat melewati pagar makam Rasulullah.

Getaran itu membuat air mata jatuh. Telapak tangan menutup wajah. Rasa malu menguasai diri. Tak bisa mengangkat kepala. Di hadapan sosok yang Allah dan malaikat pun senantiasa berkirim salam dan selawat. Shollu alannabi!

Yang syuhudi malu karena datang ke kediaman Rasul dengan berbagai kesalahan. Sering alpa, penuh dosa. Malu akibat seringkali mengaku sebagai umatnya namun masih jauh sekali dari prilaku mulia Rasulullah.

Yang syuhudi telah melihat Nabi dan Nabi melihatnya. Ia dengan degup jantungnya bak terhenti, tergiring ke dalam penghayatan, pertemuan dan perjumpaan. Hanyut ke dalam tatapan nabi. Hati, jiwanya bergerak melembut. Air matanya mengalir, meski terdapat air mata tersisa namun tetap saja meleleh.

Sementara yang di fenomena “tashdiq” bisa jadi biasa-biasa saat siarah maupun melewati pagar makam nabi. Tanpa getaran mungkin pula tanpa air mata. Biasa saja?

Menuju ke fenomena “syuhudi”, adalah sebuah ruang yang pintunya terbuka. Sebagaimana janji atas rasa sayang nabi bahwa kalian adalah umatku. Aku begitu mencintai, menyayangimu. Karena itu, semua memiliki peluang memasuki fenomena “syuhudi”. Wallahu a’lam.