Luka Ekologi di Raja Ampat Demi Transisi Energi Bersih

Oleh: Muliadi Saleh – Penulis, Pemikir, Penggerak Literasi dan Kebudayaan

Satu demi satu nada kerusakan mengalun. Bukan karena badai, bukan pula karena nelayan rakus—melainkan karena satu nama yang terdengar indah di telinga dunia: transisi energi hijau.

Ironi pun mencuat. Demi menyelamatkan planet ini dari kepunahan akibat energi fosil, manusia beralih pada energi terbarukan. Mobil listrik, panel surya, dan turbin angin menjanjikan dunia yang lebih bersih. Namun siapa sangka, impian hijau itu menyimpan noda—dan salah satu nodanya menetes di Raja Ampat.

Di hutan-hutan hijau yang membungkus pegunungan kapur Raja Ampat, kini gema mesin mulai menggantikan nyanyian burung cendrawasih. Tanah dikupas, batu digali, logam langka diangkut. Nikel, kobalt, dan logam tanah jarang—bahan utama baterai dan panel surya—ditambang tanpa ampun, seakan bumi adalah toko swalayan tak berjiwa. Raja Ampat, surga biodiversitas, dilirik sebagai ladang kekayaan mineral, dan para investor datang membawa izin dan bulldozer.

Atas nama energi bersih, pohon-pohon diruntuhkan, sungai dikotori lumpur tambang, dan terumbu karang menerima limpahan sedimen yang membunuh perlahan. Semua ini terjadi atas restu dokumen yang disebut izin usaha pertambangan. Dilegalisasi dalam bingkai pembangunan, disemir dengan narasi keberlanjutan, tapi kehilangan jiwa etika ekologi.

Apakah ini wajah transisi hijau yang kita dambakan? Ketika usaha menyelamatkan planet justru menenggelamkan surga?

Transisi energi bersih sejatinya adalah panggilan moral umat manusia untuk keluar dari ketergantungan pada bahan bakar fosil yang merusak atmosfer. Namun ketika transisi ini dilakukan dengan nafsu ekstraksi yang membabi buta, ia kehilangan makna spiritualnya. Ia tak lagi menyelamatkan bumi, tapi memindahkan luka dari satu titik ke titik lain. Dari polusi udara ke kehancuran hayati. Dari krisis iklim ke krisis ekosistem.

Mengapa Raja Ampat? Mengapa tanah adat dan ruang hidup masyarakat pesisir harus menanggung beban peradaban dunia? Apakah karena mereka tak bersuara di panggung global? Atau karena kekayaan alam mereka dianggap milik siapa saja yang membawa dokumen dan modal?

Transisi seharusnya bermakna perubahan dengan kesadaran, bukan sekadar perpindahan energi. Transisi seharusnya berakar pada keadilan ekologis dan sosial, bukan pada kalkulasi keuntungan. Namun kini, transisi itu menjadi ladang baru bagi kolonialisme gaya baru: green extractivism—ekstraksi hijau yang menindas dengan wajah ramah.

Di kampung-kampung pesisir, masyarakat adat menangis dalam diam. Laut tempat mereka menggantungkan hidup tercemar. Hutan tempat mereka mengambil obat dan bahan pangan digunduli. Sementara para investor datang dan pergi, meninggalkan jejak luka dan janji yang tinggal puing.

Apakah kita akan membiarkan tanah leluhur menjadi korban dari ambisi global? Apakah energi bersih layak diperjuangkan jika harga yang dibayar adalah hancurnya ekosistem Raja Ampat yang telah berusia jutaan tahun?

Kita butuh energi hijau, ya. Tapi kita juga butuh hati yang jernih dan kebijakan yang adil. Jangan bungkus kerakusan dengan narasi transisi. Jangan genangi surga dengan lumpur tambang atas nama masa depan.

Kini saatnya kita bertanya: untuk siapa transisi energi ini? Untuk bumi? Atau untuk pasar?

Jika memang untuk bumi, maka bumi tak bisa diselamatkan dengan melukai dirinya sendiri. Menambang nikel untuk baterai kendaraan listrik dengan menghancurkan Raja Ampat bukanlah solusi, tapi paradoks yang kejam.

Transisi sejati bukan sekadar beralih dari bensin ke baterai. Ia harus menyentuh akar spiritual manusia terhadap alam—bahwa alam bukan benda mati, bukan komoditas, melainkan sahabat yang harus dipelihara. Hutan bukan sekadar karbon, laut bukan sekadar ruang ekonomi biru, dan manusia bukan sekadar tenaga kerja tambang.

Raja Ampat adalah cermin. Di sanalah kita bisa melihat wajah asli peradaban kita. Apakah kita benar-benar berubah? Ataukah kita hanya mengganti topeng?

Mari hentikan ekstraksi yang membabi buta. Mari rancang transisi yang berbasis pada keadilan ekologis. Libatkan masyarakat adat sebagai subjek, bukan objek. Hormati hak-hak bumi. Tanamkan etika ekologis dalam setiap kebijakan.

Dan biarkan Raja Ampat tetap menjadi simfoni surgawi, bukan menjadi ratapan sunyi di altar kemajuan semu.