Literasi-Numerasi, Jangan [hanya] Mengandalkan Paman Google

Literasi-Numerasi, Jangan [hanya] Mengandalkan Paman Google

Oleh Adi Arwan Alimin (Insight Mandarnesia)

AULA Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Bulo, Polewali Mandar Kamis (25/1/2024) kemarin, diruapi perbincangan penguatan mutu literasi dan numerasi. Pertemuan ini digelar jajaran SMPN 6 Wonomulyo yang berada di Kanusuang, bersama orang tua siswa di sana.

Ini menjadi pengalaman praktis dan baik yang penulis temukan. Momentum yang menghadirkan orang tua untuk membahas mengenai perkembangan literasi di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serasa tidak begitu umum, kecuali selama ini lebih banyak didesakkan komunitas dan kelompok penalaran lainnya.

Namun di Kanusuang berbeda. SMPN 6 Wonomulyo memulai contoh baik ini. Daerah yang dapat dijangkau kurang sejam dari Kota Polewali itu menawarkan alternatif baru, bahwa sejatinya urusan peningkatan baku-mutu literasi dan numerasi bukan tanggung jawab pihak sekolah semata. Namun di sana ada peran orang tua siswa yang amat menentukan.

Sekolah yang dipimpin Priyo Winarto, S.Pd. Fis. M.Pd. dengan Ketua Komite Muhammad Latief, memiliki 268 siswa dan 27 guru dan staf. Sepanjang acara yang hampir tiga jam itu orang tua siswa asyik menyimak paparan sosialisasi, dan dialog mengenai tema ini.

Tanya jawab tentang strategi peningkatan literasi dapat dikatakan sebagai bentuk sharing pengalaman dan tips praktis. Begitu antusiasnya, sepanjang acara tidak tampak peserta yang hilir-mudik atau keluar masuk di aula ini. Mereka terlihat sangat serius dan memberi respons bagus.

Mengapa Menjadi Penting?

Dalam konteks Abad XXI, literasi tidak sekadar kemampuan membaca, menulis, dan berhitung (numerasi), tetapi juga melek ilmu pengetahuan (sains) dan teknologi (digital), keuangan (finansial), budaya dan kewargaan. Enam hal itu merupakan literasi dasar dan disebut sebagai dimensi literasi dalam “Peta Jalan Gerakan Literasi Nasional” seperti yang tertuang dalam panduan Kemendikbud.

Menyiapkan generasi yang literat untuk menghadapi tantangan abad ke-21 menjadi tujuan akhir dari gerakan literasi sekolah. Topik ini menempati urutan amat besar yang dibincang kemarin, disamping menegaskan bahwa topik pengembangan literasi dan numerasi pangkalnya dari interaksi dan pola komunikasi dari rumah.

Konteks Literasi sejatinya tidak hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan. Sedangkan kompetensi numerasi berarti kemampuan menganalisis menggunakan angka.

Saat ini di Indonesia literasi dan numerasi merupakan komponen utama dalam Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) sebagai pengganti Ujian Nasional. Dalam AKM, kapasitas siswa diukur terkait dengan kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), selain kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi) dan penguatan pendidikan karakter. Apakah ini telah berjalan secara optimal.

Mungkin pembaca masih mengingat dengan baik bagaimana “Learning Loss” di masa pandemi COVID-19 berpengaruh pada berbagai sektor kehidupan. Termasuk dunia pendidikan yang menyebabkan siswa mengalami “ketertinggalan literasi” (literacy loss), dan “ketertinggalan pembelajaran” (learning loss).

Bagaimana mengejar ketertinggalan atau lietracy loss ini bila hanya mengandalkan aktivitas 6-7 jam di sekolah? Maka, setiap rumah mestinya menjadi sekolah paling utama bagi anak didik, sebab di rumah mereka lebih lama dibanding di sekolahnya.

Terapkan Strategi di Sekolah

Lingkungan yang kaya teks bagian penting dalam pengembangan budaya literasi di sekolah. Ini dapat dimaknai sebagai ruang terbuka di mana anak-anak berinteraksi dengan berbagai bentuk. Tiang, dinding, bahkan lantai merupakan semua medium yang dapat diaktivasi agar proses belajar tidak bertumpu pada guru dan ruang kelas semata.

Kadlic and Lesiak (2003) menerangkan dalam bahan cetak, termasuk tanda-tanda, sudut belajar yang berlabel, cerita dinding, displaikata, mural berlabel, papan buletin, grafik dan diagram, puisi, serta bahan lainnya. Kreatifitas dapat diterapkan bila sekolah serius mencapai baku-mutu lietrasi dan numerasi.

Pengembangan aktivitas penguatan literasi memiliki ruang intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Kegiatan intrakurikuler bertujuan meningkatkan kecakapan literasi siswa melalui proses pembelajaran menggunakan beragam teks.

Sedang Kokurikuler dan ekstrakurikuler memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengaplikasikan pemahaman terhadap materi pembelajaran dalam simulasi proyek untuk menyelesaikan permasalahan di lingkungannya sesuai minat dan bakatnya.

Lalu bagaimana dengan program lima belas menit membaca? Cara ini sudah amat bagus, hanya perlu ditingkatkan pendekatannya, setelah siswa membaca 15 menit, lanjutkan pemahaman agar penalaran mereka meningkat. Antara lain dengan cara membincang, menulis dan menerangkan hasil bacaan belasan itu.

Kecakapan numerasi dan literasi memang sangat urgen. Survei Program for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2018 menunjukkan kemampuan numerasi-literasi anak Indonesia pada nilai 382. Ini menempatkan Indonesia di peringkat 71 dari 77 negara di dunia. Hasil PISA tahun 2023 juga sudah ada, namun hanya beberapa poin saja.

Kita memerlukan transformasi modal dan model pembelajaran. Ini pekerjaan rumah di semua jenjang pendidikan. Orang-orang dari Kanusuang telah memulainya. Memang tak cukup bila harus mengatakan, bertanyalah pada Paman Google… (*)

Polewali, 26 Januari 2024