Oleh: Safardy Bora*
Dalam lanskap bahasa Mandar, lalute bukan hanya arah atau ruang geografis—tetapi juga ruang sosial dan keyakinan. Kata ini hidup dalam syair lama seperti Tengga-Tenggang Lopi, lagu pelaut yang menggambarkan kecemasan, pengembaraan, dan identitas. Lalute bukan sekadar seberang air, tetapi juga seberang adat. Seberang keyakinan. Sebuah tempat yang asing, yang dituju dengan waspada dan kesadaran akan batas-batas nilai.
Sementara itu, Kute adalah nama bagi suatu kampung di pedalaman Kalimantan, dihuni oleh masyarakat non-Muslim. Meski kerajaan Kutai di Kutai Lama sudah mengenal Islam oleh Tunggang Parangan namun di pedalaman adat dan keyakinan masih berbeda. Bagi sebagian pelaut atau perantau Mandar yang berlayar menuju Kalimantan, Kute sering menjadi simbol tempat yang ‘lain’—bukan hanya karena beda letak, tapi karena beda laku. Dalam ingatan kolektif, Kute adalah wilayah yang menawarkan keramahan, namun juga tantangan terhadap batas halal dan haram, terhadap prinsip dan kebiasaan.
Dalam lirik Tengga-Tenggang Lopi, muncul kalimat-kalimat yang menyiratkan kekhawatiran pelaut Mandar ketika singgah di tempat seperti Kute. Di sana, kata lalute bukan hanya tentang jarak fisik, tetapi jarak batin. Seperti sebaris syair menyebut: “natoanama tedzong lotong ta ketandu. Syair seolah hendak berkata: di seberang sana ada perjamuan yang tidak sesuai dengan syariat kami, ada daging celeng yang tak akan kami sentuh. Di titik inilah lalute menjadi simbol batas identitas religius dan budaya.
Namun, secara fonetik dan historis, lalute juga memiliki akar dari perubahan lafal. Orang Mandar menyebut Kutai atau Kute dengan sebutan lute, sebagai bentuk adaptasi bunyi terhadap lidah dan aksen Mandar. Maka, lalute sejatinya bisa dimaknai juga sebagai “ke-lute”, atau “pergi ke lute/Kute”—yakni sebuah ekspresi kultural yang mengacu langsung pada pengalaman melaut ke wilayah Kalimantan Timur.
Dalam makna ini, lalute adalah perjalanan menyeberangi batas geografis menuju Kutai, tempat yang disebut lute oleh para pelaut Mandar. Tapi perjalanan ini bukan hanya fisik—ia sarat makna religius, sosial, dan identitas. Seolah para pelaut membawa serta agama, adat, dan harga diri dalam biduk mereka, dan lalute menjadi panggung ujian bagi semua itu.
Bagi pelaut Mandar, makanan bukan sekadar pengisi perut, melainkan juga penguji prinsip. Maka singgah di Kute, walau dengan perut lapar, bukan alasan untuk mengabaikan nilai. Di sini, identitas Mandar sebagai muslim, sebagai penjaga siri’, benar-benar diuji. Lalute menjadi tempat ujian iman: apakah nilai itu bisa tetap dijaga dalam keterasingan?
Namun yang menarik, meski begitu kuat menjaga batas keyakinan, masyarakat Mandar tetap memuliakan tetangga, meski berbeda agama. Dalam perjumpaan dengan masyarakat Kute, mereka tidak pernah menyerang atau menghina. Yang mereka jaga hanyalah diri dan keyakinan mereka sendiri. Ada ketegasan tanpa kebencian. Ada kute dalam makna baru—yakni keteguhan hati di tengah perbedaan.
Lagu Tengga-Tenggang Lopi dengan demikian menjadi tidak hanya nyanyian pelaut, tapi juga nyanyian tauhid. Di dalamnya tersimpan perintah tak tertulis: untuk tetap berlayar, untuk tetap menghormati tanah orang, tetapi juga tidak kehilangan arah dan akidah. Lalute bukan tempat untuk dikutuk, tapi tempat untuk diuji.
Di sinilah muncul ketegangan makna: lalute sebagai tempat yang asing, dan Kute sebagai tempat yang nyata. Keduanya mewakili semacam “ruang liminal”, tempat perjumpaan antara budaya pesisir dengan budaya pedalaman, antara Islam dan lokalitas yang belum tentu seragam. Tetapi dalam perjumpaan itu, budaya Mandar tidak larut. Ia hadir dengan sopan, namun teguh.
Kita bisa membayangkan perahu kecil Mandar merapat di tepi sungai Mahakam atau Barito, di hadapan kampung Kute. Dalam perut perahu itu, pelaut Mandar mengunyah singkong rebus atau ikan asin dari dapur sendiri. Mereka menolak celeng, bukan dengan marah, tapi dengan senyum yang mengatakan: “Maaf, ini bukan jalan kami.”
Dalam dunia yang terus menyamakan semua demi toleransi semu, pelaut Mandar menunjukkan bahwa menjaga prinsip tidak harus melukai orang lain. Bahwa beda tidak harus bermusuhan. Bahwa lalute bukan tempat untuk menghakimi, tapi untuk memperjelas siapa kita.
Dan hari ini, ketika nilai-nilai itu mulai kabur oleh modernitas, lagu-lagu seperti Tengga-Tenggang Lopi penting untuk dikaji ulang. Karena ia tidak hanya memuat cerita tentang badai dan layar, tetapi juga kisah tentang keteguhan identitas dalam ruang yang plural. Tentang keberanian menjaga nilai, bahkan ketika jauh dari rumah.
Maka lalute dan Kute bukan sekadar nama. Keduanya adalah cermin. Yang satu mencerminkan ujian dari luar, yang lain mencerminkan keteguhan dari dalam. Di antara keduanya, pelaut Mandar mengajarkan kita bahwa menjadi manusia Nusantara bukan soal menjadi sama, tapi tahu batas dalam bertetangga, dan tahu arah saat melintas.
*Penulis asal Mandar, tinggal di Samarinda