Penggunaan media sosial yang berlebihan sering kali dikaitkan dengan perasaan rendah diri dan kecemasan sosial. Remaja yang terus-menerus membandingkan diri mereka dengan orang lain di media sosial dapat merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri.
Foto-foto dan postingan yang menampilkan kehidupan yang tampaknya sempurna dapat menimbulkan perasaan iri dan tidak berharga. Dalam jangka panjang, hal ini dapat menyebabkan depresi dan kecemasan yang kronis.
Selain itu, terlalu banyak waktu yang dihabiskan di media sosial juga dapat mengganggu tidur, yang merupakan faktor penting untuk kesehatan mental. Kurangnya tidur dapat memperburuk gejala kecemasan dan depresi, serta mempengaruhi kemampuan kognitif dan konsentrasi.
Remaja yang kurang tidur cenderung lebih mudah stres dan memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan mental.
Di Indonesia, masalah kesehatan mental di kalangan remaja semakin menjadi perhatian serius. Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan peningkatan prevalensi gangguan mental pada remaja dalam beberapa tahun terakhir.
Banyak remaja yang mengalami tekanan untuk tampil sempurna di media sosial, yang berkontribusi pada peningkatan tingkat kecemasan dan depresi. Sayangnya, stigma terhadap masalah kesehatan mental masih kuat di Indonesia, sehingga banyak remaja yang enggan mencari bantuan profesional.
Kebiasaan Instan: Mengubah Cara Kita Berinteraksi
Salah satu aspek yang paling mencolok dari krisis dopamin adalah perubahan dalam kebiasaan interaksi dan perilaku di kalangan Gen Z. Generasi ini tumbuh dengan akses mudah ke teknologi dan informasi instan, yang telah mengubah cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka.
Media sosial memberikan kemudahan untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa perlu bertemu langsung. Meskipun ini memiliki manfaat, seperti mempermudah komunikasi jarak jauh, namun juga mengurangi kualitas interaksi sosial.
Remaja lebih cenderung berkomunikasi melalui teks atau pesan singkat daripada berbicara langsung, yang dapat mengurangi keterampilan sosial dan empati mereka. Interaksi tatap muka, yang penting untuk membangun hubungan yang mendalam dan bermakna, sering kali diabaikan.
Kebiasaan instan juga mempengaruhi cara remaja mencari hiburan dan informasi. Platform seperti TikTok dan Instagram menawarkan konten singkat yang cepat dan menghibur, yang membuat otak terbiasa dengan stimulasi instan. Akibatnya, remaja menjadi kurang sabar dan lebih sulit untuk fokus pada tugas yang memerlukan perhatian jangka panjang.
Kemampuan untuk membaca buku atau menyelesaikan proyek panjang menjadi semakin sulit karena otak terus-menerus mencari kepuasan instan.
Di Indonesia, fenomena ini terlihat jelas dengan meningkatnya popularitas aplikasi media sosial di kalangan remaja. Berdasarkan data dari Sensor Tower, TikTok adalah salah satu aplikasi yang paling banyak diunduh di Indonesia pada tahun 2023.
Remaja menghabiskan berjam-jam setiap hari menonton video pendek, yang mempengaruhi cara mereka memproses informasi dan mengelola waktu mereka. Kebiasaan ini tidak hanya mempengaruhi kinerja akademis mereka, tetapi juga mengurangi waktu untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat, seperti berolahraga atau membaca.
Solusi dan Langkah Ke Depan
Mengatasi krisis dopamin dan dampaknya pada Gen Z memerlukan pendekatan holistik yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, keluarga, dan remaja itu sendiri. Pendidikan tentang bahaya kecanduan teknologi dan pentingnya menjaga kesehatan mental harus dimulai sejak dini.