Oleh: Fiqram Iqra Pradana (CEO Manabrain Institute)
Pada era digital yang serba cepat ini, kita dihadapkan pada fenomena baru yang disebut “krisis dopamin.” Istilah ini merujuk pada ketergantungan berlebihan terhadap rangsangan instan yang disediakan oleh teknologi, khususnya media sosial, yang menyebabkan lonjakan dopamin di otak kita.
Krisis ini memiliki dampak yang signifikan terhadap generasi Z, generasi yang tumbuh dengan akses tak terbatas ke teknologi. Fenomena ini menjadi perhatian di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dan bahkan di wilayah lokal seperti Sulawesi Barat.
Secara global, krisis dopamin telah menjadi topik hangat di kalangan peneliti dan praktisi kesehatan mental. Pada tahun 2023, sebuah studi yang diterbitkan oleh jurnal The Lancet mengungkapkan bahwa lebih dari 50% remaja di Amerika Serikat menunjukkan gejala kecemasan dan depresi yang terkait dengan penggunaan media sosial yang berlebihan.
Pemerintah di berbagai negara, seperti Inggris dan Korea Selatan, telah membentuk komite khusus untuk menyelidiki dampak media sosial terhadap kesehatan mental anak-anak dan remaja.
Di Indonesia, masalah ini juga sangat nyata. Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2022, lebih dari 80% remaja Indonesia aktif menggunakan media sosial setiap hari.
Kasus kecanduan digital dan dampaknya terhadap kesehatan mental remaja semakin sering dilaporkan. Sebuah survei dari Kementerian Kesehatan pada tahun yang sama menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus kecemasan dan depresi di kalangan remaja, sebagian besar terkait dengan penggunaan media sosial.
Melihat lebih dekat ke wilayah lokal, seperti Sulawesi Barat, masalah ini juga menjadi semakin nyata. Di daerah ini, penetrasi internet dan penggunaan media sosial terus meningkat, terutama di kalangan remaja. Fenomena ini mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka, dari prestasi akademis hingga hubungan sosial dan kesejahteraan mental.
Kecanduan: Sisi Gelap Teknologi
Kecanduan teknologi, khususnya media sosial, merupakan salah satu aspek paling mencolok dalam krisis dopamin di kalangan Gen Z. Media sosial dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin, menggunakan algoritma canggih yang memanfaatkan sifat adiktif dari dopamin.
Setiap kali kita menerima like, komentar, atau notifikasi, otak kita mengalami lonjakan dopamin, yang memberikan perasaan senang sementara. Namun, efek ini tidak bertahan lama dan mendorong kita untuk mencari lebih banyak stimulasi.
Kecanduan ini menciptakan siklus yang sulit diputus. Remaja terus-menerus memeriksa ponsel mereka, mencari validasi dan stimulasi instan dari media sosial. Ketergantungan ini mengurangi kemampuan mereka untuk fokus pada aktivitas lain yang memerlukan perhatian jangka panjang, seperti belajar atau berinteraksi secara langsung dengan orang lain.
Selain itu, kecanduan media sosial juga dapat menyebabkan masalah tidur, karena remaja sering kali menggunakan ponsel mereka hingga larut malam, mengganggu pola tidur yang sehat.
Di Indonesia, fenomena kecanduan teknologi ini semakin terlihat dengan meningkatnya jumlah remaja yang menghabiskan waktu berjam-jam di depan layar ponsel mereka. Sebuah survei yang dilakukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan bahwa sebagian besar remaja Indonesia menghabiskan lebih dari lima jam sehari untuk bermain ponsel.
Hal ini tidak hanya mempengaruhi kinerja akademis mereka, tetapi juga mengurangi waktu yang seharusnya mereka habiskan untuk berolahraga atau berinteraksi dengan keluarga dan teman-teman secara langsung.
Masalah Kesehatan Mental: Dampak Jangka Panjang
Kecanduan teknologi tidak hanya mempengaruhi perilaku sehari-hari, tetapi juga berdampak signifikan pada kesehatan mental. Krisis dopamin yang dipicu oleh kecanduan media sosial dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk kecemasan, depresi, dan gangguan perhatian.