MAMUJU–Panitia khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu juga berencana menghilangkan status permanen anggota KPU kabupaten/kota. Alasannya, keserentakan pemilu menyisakan waktu tak terpakai untuk anggota KPU kabupaten/kota bertugas. Namun gagasan tersebut dianggap melanggar aturan lainnya.
“Bawaslu kabupaten/kota tidak dipermanenkan, tapi KPU kabupaten/kota juga di-adhoc-kan. Karena kan serentak, ada sisa masa jabatan dimana mereka gak punya tugas lagi. Ini memang kabar buruk untuk KPU kabupaten/kota,” pernyataan ini disampaikan Ketua Panitia khusus (Pansus) RUU Pemilu, Muhammad Lukman Edy, pada acara “Seminar Nasional AIPI, Pemilu Serentak 2019” di Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta (27/4) sebagaimana dikutip dari laman rumahpemilu.org.
Namun gagasan tersebut mendapat penolakan keras dari daerah. Ide Pansus RUU Pemilu justru dianggap akan memundurkan proses demokrasi yang telah berjalan. Lalu bagaimana reaksi dari daerah?
“Mengubah status KPU Kabupaten/Kota menjadi ad hoc otomatis akan membuat penetapan dan pengesahan hasil Pemilu untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota menjadi cacat hukum. Status ad hoc KPU Kabupaten/Kota bisa dilakukan apabila diiringi dengan menghilangkan lembaga DPRD Kabupaten/Kota. Penetapan dan pengesahan hasil Pemilu oleh KPU Provinsi dan/atau KPU RI juga melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945,” demikian bunyi pernyataan penolakan dari KPU Kabupaten yang menjadi viral di media sosial, menentang rencana Pansus RUU Pemilu.
Pernyataan sikap tersebut juga menekankan poin-poin sebagai berikut:
1. Menolak perubahan status KPU Kabupaten/Kota menjadi ad hoc karena bertentangan dengan UUD 1945;
2. Panitia ad hoc yang menyelenggarakan Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan dan mengesahkan hasil Pemilu DPRD Kabupaten/Kota;
3. Akan terjadi penurunan kualitas pelaksanaan Pemilu mengingat dengan status ad hoc, KPU Provinsi tidak memiliki kendali penuh atas perilaku anggota penyelenggara Pemilu ad hoc di tingkat Kabupaten/Kota;
4. Dugaan kecurangan yang dilakukan penyelenggara dalam Pemilu mayoritas dilakukan oleh penyelenggara ad hoc, mulai dari PPK, PPS hingga KPPS. Status ad hoc penyelenggara Pemilu di tingkat Kabupaten/Kota justru akan menambah besar peluang terjadinya penyimpangan/kecurangan dalam Pemilu;
5.Kemandirian KPU sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi juga terancam dikarenakan perubahan status KPU Kabupaten/Kota menjadi ad hoc akan menyebabkan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berstatus sebagai pegawai KPU akan ikut berubah status menjadi ASN pemerintah
daerah, sehingga rawan diintervensi. (*)
#BusriadiBustamin