Jakarta, AMSI – Kolaborasi multi pihak jadi kebutuhan mendasar memastikan kerja dan distribusi hasil pemeriksaan fakta dapat menyaingi kecepatan peredaran informasi bohong. Kolaborasi perlu dibangun dari hulu hingga hilir untuk menciptakan ekosistem informasi sehat bagi seluruh masyarakat.
Irfan Junaidi, Wakil Ketua II AMSI dalam sambutan pembukaan webinar sekaligus puncak rangkaian Indonesia Fact-checking Summit 2021 pada Senin, 20 Desember 2021. Ia menyampaikan kegiatan ini diselenggarakan sebagai upaya untuk membangun ekosistem digital sehat. Ia menekankan Cek Fakta bukan milik satu pihak tertentu tapi melibatkan banyak pihak antara media, CSO, jurnalis dan berbagai lembaga. “Masyarakat perlu dilibatkan dan mendapatkan literasi Cek Fakta agar tidak menelan informasi mentah-mentah dan mampu mengambil keputusan berdasarkan informasi yang benar. Kerja sama berbagai pihak menjadi mutlak,” ujarnya.
Pada kegiatan ini juga, kolaborasi pemeriksa fakta cekfakta.com meluncurkan Playbook Cekfakta.com dan pembacaan rekomendasi Etik Pengecekan Fakta dan Pelabelan Hoaks, Mitigasi dan Perlindungan Pemeriksa Fakta, Membersihkan Iklan Digital (Programmatic Ads) di Media Online dari Potensi Mis/ Disinformasi.
Saat sesi peluncuran, Wahyu Dhyatmika (Sekretaris Jenderal AMSI) menerangkan, buku panduan dalam dua bahasa yang disematkan di website Cekfakta.com ini berisi strategi, program, latar belakang, proses kerja, hingga bagaimana kerja-kerja kolaborasi pemeriksaan fakta. Buku yang terbagi menjadi 8 bab ini memungkinkan publik, peminat pemeriksa fakta, serta akademisi melakukan studi, riset, dan membuka jejaring kerja bersama terkait pemeriksaan fakta.
“Buku ini tersedia dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Harapannya buku ini bisa mencapai publik yang membutuhkannya dan menunjang kerja-kerja pemeriksaan fakta,” kata Wahyu.
Setelah pelucuran playbook, berlangsung sesi 1 webinar bertema “Tantangan dan Peluang Cek Fakta sebagai Upaya Kolaborasi Media dan CSO dalam Membangun Ekosistem Informasi yang Kredibel di Indonesia”. Hadir pembicara, Septiaji Eko Nugroho (Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia/ Mafindo), Wanda Indana (Eedaktur Medcom.id), Elin Yunita Kristanti (Wakil Pemimpin Redaksi Liputan6.com), Donny Budi Utoyo (Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika), dan Wahyu Dhyatmika, Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI).
Kolaborasi pemeriksaan fakta di Indonesia secara formal terbentuk selepas Trusted Media Summit 2018 yang melibatkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Asosiasi Media Siber Indonesia, komunitas pemeriksa fakta Mafindo. Kolaborasi yang diberi nama Cekfakta.com ini terus berjalan dengan melibatkan 24 media massa di Indonesia. “Kelebihan kolaborasi periksa fakta Indonesia ini sangat kuat, mungkin paling kuat di Asia Tenggara,” kata Septiaji.
Tantangannya adalah memastikan kerja-kerja dan hasil pemeriksaan fakta bisa terdistribusi viral seperti halnya informasi bohong. Mafindo menilai kolaborasi paling sederhana dengan berbagai pihak adalah menyebarkan hasil cek fakta seluas-luasnya. Catatan Mafindo semasa pandemi, peredaran konten verifikasi yang beredar hanya mencapai 10 persen dari konten mis/disinformasi (hoaks).
Wahyu dari AMSI memberikan catatan kritis terkait kolaborasi yang sudah berjalan selama ini. “Belum (menyentuh) akar persoalannya,” kata Wahyu merujuk pada kerja-kerja pemeriksaan fakta.
Menurutnya, perlu ada upaya memastikan kerja-kerja periksa fakta itu harus berdampak pada penciptaan ekosistem informasi yang lebih sehat. Kondisi pandemi, tambah Wahyu, memaksa berbagai elemen pemeriksa fakta berkomunikasi dan berjejaring dengan beragam komunitas baru seperti dari bidang kesehatan guna menyaingi peredaran informasi bohong seputar Covid-19. “Pengalaman ini harusnya bisa kita coba replikasi buat konteks lebih luas di luar isu kesehatan,” tuturnya.
Wahyu mengajak seluruh komponen untuk membuat strategi bersama guna menyasar akar masalah penyebaran hoaks. Bukti tidak sehatnya ekosistem informasi itu, antara lain, kriminalisasi pemeriksa fakta, mempertanyakan kredibilitas pemeriksa fakta, doxing, perisakan daring, hingga terpolarisasinya kelompok masyarakat.
Perwakilan media yang memiliki kanal periksa fakta, Elin dan Wanda menyatakan, kolaborasi penting dalam konteks melindungi publik sebagai kelompok yang paling rentan dalam penyebaran informasi bohong.
“Kami mengajak masyarakat agar berpartisipasi aktif melawan hoaks. Kami gelar kelas virtual untuk berbagi ilmu serta mengajak pakar memberikan penjelasan kepada 15 grup Whatsapp dengan kurang lebih dua ribu anggota yang kami kelola,” kata Elin.
Wanda membagi pengalamannya bekerja sama dengan organisasi kemasyarakatan terkait maraknya informasi bohong berbasis politik yang beririsan dengan isu agama. “Kami juga buat pelatihan verifikasi fakta dasar bagi masyarakat,” kata Wanda menambahkan.
Sementara itu saat membuka sesi kedua webinar bertema “Mengukur Dampak Cek Fakta: Sejauh Mana Media Berhasil Menangkal Hoaks”, Sasmito Madrim (Ketua AJI) mengatakan tugas jurnalis secara alamiah adalah melakukan verifikasi dan menjernihkan banjir informasi yang menyebar di jagat digital.
“Kolaborasi antar jurnalis, perusahaan media, dan masyarakat sipil sudah sangat baik dalam memerangi hoaks yang menyebar. Namun, yang tidak kalah penting adalah memastikan hasil pemeriksaan fakta yang dilakukan media tersebut sampai ke publik supaya dapat mengambil keputusan dengan tepat,” kata Sasmito menegaskan.
Sesi kedua hadir narasumber Citra Dyah Prastuti (Badan Pengawas dan Pertimbangan AMSI), Novi Kurnia (Koordinator Jaringan Pegiat Literasi Digital/ Japelidi), Widjajanto (Direktur Pusat Media dan Demokrasi LP3ES), Ismail Fahmi (Direktur Media Kernels Indonesia/ Drone Emprit) dan moderator Santi Indrastuti (Presidium Mafindo).
Ismail Fahmi mengatakan misinformasi/ disinformasi mudah tersebar karena ada ketidakpercayaan pada sistem dan pemerintah. Pembuat hoaks menyesuaikan narasi-narasi dengan konteks lokal. “Hoaks memanfaatkan kondisi tersebut, dan mengambil keuntungan ekonomi dari adsense yang cukup besar,” ujarnya.
Ia menyampaikan dalam percakapan terkait hoaks, posisi media masih jauh kalah populer dari influencer. Saat Pilpres 2019 gerakan cek fakta masuk di tengah-tengah antara kedua kubu. Posisi cek fakta sangat penting, banyak publik figur yang membutuhkan bantuan untuk pengecekan fakta. “Media Cek Fakta perlu masuk di cluster-cluster masyarakat yang ada, perlu melibatkan masyarakat sebagai agen untuk membantu distribusi. Agar Cek Fakta bukan lagi di tengah kedua kubu, tapi seperti udara ada di mana-mana,” ujarnya.