Oleh : Sahabuddin Mahganna
Sajian minuman legendaris ini, tentu penikmatnya akan mengucapkan kata spesial dan istimewa padanya, memiliki kelebihan ganda dengan sekedar diteguk bersama air dari olahan biji pahit, membuat orang-orang yang terlibat di dalamnya merasa terhormat, bangga dan bahagia.
Pelepas dahaga dan pemberi makna, tidak sekejap mata kemudian hari ini mampu disandang, sebab kisah-kisah penganutnya tidak jarang terungkap di meja-meja minum, bahkan varian-varian manusia menggunakan gaya dan caranya tersendiri, guna memenuhi syarat atau hasrat sebagai penyeduh nikmat, sembari mencoba menghadirkan dirinya di sejarah panjang sang buah ajaib.
Betapa tidak, kenyamanan para peneguk bisa saja karena sugesti varietas dan single origin. Pengolah menerapkan konsep identitas daerah atau jenis dimana benih itu tumbuh, kopi-kopipun dapat dikenali dan dikendalikan secara spesifik, lalu mengantarnya sampai pada fase kualitas yang benar-benar dalam dan detail.
Dunia mengenal Indonesia penghasil kopi terbesar dan terbaik, setelah Brazil, Vietnam dan Colombia. Sumbangsih Gayo dan Mandaling dari Sumatera, Preanger di Jawa, Kintamani di Bali, Plores dan Papua, kemudian mampu mencatatkan dibilik skor yang ke empat. Belakangan diketahui Toraja dan Mamasa di Sulawesi sebagai penciri identity unik dan cita rasa yang berbeda.
Ketertarikan pecandu atau ketakjuban mereka dari biji yang di tanam, pemilihan tempat, sortir, kondisi geografis alamnya, hingga sampai pada minuman tersaji. Anggapan atau rasa culture experience yang seolah terlibat dalam proses perjalanan panjang dan sarat akan makna, meleburkan dirinya ke suasana damai kendati hanya secangkir.
Pernyataan ini benar berhubungan dengan tiga fase, konsep, dari gelombang atau waves yang pernah ditawarkan oleh Trish Rothgeb dalam tulisnya di Wrecking Ball Coffe roasters 2002. Firts Wave Coffe, second wave coffe dan third wave coffe
Tahun 2000 an Third Wave Coffe salah satu pemetaan budaya minum kopi di bumi muncul, setelah belajar dari hasil evaluasi metoda Firts Wave Coffe dan Second Wave Coffe. Sebelumnya firts lebih dulu sekitar tahun 1800 an, telah memanjakan penikmatnya dengan kemudahan sajian, murah dan terjangkau, dimana saja mereka dapat menikmati. Lalu pada fase ini merangkak dan bergerak pelan terhadap kopi instan, bahkan keistimewaan kemasannya lebih diminati oleh para tentara perang dunia pertama 1917 sebagai minuman wajib.
Namun hal itu dianggap buruk, kopi instan pelan ditinggal sementara waktu oleh pengolah kopi, dan beranjak ke Second Wave Coffe. Segala bentuk cita rasa terlahir, lidah espresso, cappucino, latte, dan pracappucino hasil dari eksperimen paling banyak dicari, hingga dikenal dengan istilah coffe shoop. dari sini kemudian ditengahrai menjadi penyebab kritik sosial terhadap fase pertama, para penikmat kopipun mulai memilah-milah yang bukan dari sekedar pelengkap hidup untuk minum, tetapi lebih pada pencarian, apa yang baru saja selesai ia minum. (Lanjut ke Halaman 2)