Laporan : Karmila Bakri
Suara ketukan alat panetteq (Penenun) terdengar dari kediaman Nursyam(16) di Dusun Buttu Dolong,Desa Sambaliwali, Kecamatan Luyo, Kabupaten Polewali Mandar, nada gesekan alat tenun riuh meramaikan suasana hening kampung,seiring waktu jelang sore merangkul, digeseknya penuh ketabahan, memainkan jemari-jemari lentik, mendayu dalam bentangan zaman, setiap helai benang dipadupadankan hingga warna menarik, indah menyatu, dirakitnya dengan senyuman tanpa keluh, keteduhan berjibaku dengan alat tenunnya, gerakan mengalirkan semangat, seutuh jiwa hadirkan kesabaran, yah menenun itu bagaikan meditasi rasa, butuh kejelian, cekatan, hingga membatin sehingga utuh jemari membingkai arsiran bunga, sarung tenun dibuat paling lama seminggu, terkadang pula hanya memakan waktu 5 hari.
Menelisik sejarahnya hingga perempuan ini pandai menenun, terkesima hanya dalam waktu sehari dibimbing oleh ibunya, secepat ini jarinya mulai mahir membuat sarung tenun. Ibu adalah guru luar biasa, keahlian ibu tertular dengan mudah, konon katanya neneknya adalah seorang panetteq (penenun).
Dia towaine panetteq Nursyam(16) anak dari pasangan Musa(Ayah) dan Samsia (Ibu) Anak ke 4 dari 6 bersaudara ini sedang mengenyam pendidikan, duduk dibangku kelas X di MA Al-Irsad Karoke, Desa Sambaliwali, Kecamatan Luyo. Pelajaran paling diminati adalah bahasa Arab, di kelasnya dia paling cerdas dengan prestasi peringkat 1, wajarlah jika perempuan cerdas ini bercita-cita ingin menjadi Polwan. Setiap hari sepulang sekolah berjibaku dengan alat tenun senantiasa dilakoninya. Apabila sarung tenun yang dibuat sampai selusin, sang Ibupun membawa sarung-sarung itu ke Pasar untuk dijual, harga sarung tenun berkisar Rp.150.000-Rp 250.000 tergantung dari kerumitan motif dan intensitas waktu digunakan untuk membuat.Terkadang pula menerima orderan dari pelanggan sesuai motif dan warna pesanan. Kalau nasib lagi mujur kadang sarung tenun laku, kadang pula tinggal dipajang di rumah. Selama nursyam(16) menenun, diapun berhasil membeli laptop dari hasil tenun itu.
Harapan besar ingin lanjut kuliah sangat didambakan, “kelak saya ingin membanggakan kedua orang tua, bahwa anaknya juga bisa sarjana dan berhasil mencapai cita-cita,saya ingin kuliah di Kampus Unsulbar Majene mengambil jurusan Bahasa Arab” Tutur Nursyam di sela ayunan jemari lentiknya memainkan alat tenun dengan lihai berhias senyuman.
Biaya melanjutkan ke jenjang kuliah sangat mahal, ibu menuturkan “dulu kakak Nursyam juga berkeinginan untuk kuliah, namun karena tidak ada biaya maka anakku tidak melanjutkan pendidikannya, dan memilih untuk menikah saat jodohnya datang” Tutur Ibu Nursyam sembari meletakkan gulungan benang di samping Nursyam.
Harapan Nursyam diselipkan pada tiap lapisan benang-benang hingga menghasilkan tenunan cantik dan menarik, “kak, saya akan semangat untuk bisa mencapai gelar sarjana, perempuan kampung seperti saya bisa juga bersaing dengan perempuan-perempuan di kota, meski keluarga saya berasal dari ekonomi lemah, namun optimis untuk kuliah sudah diniatkan” Tutur Nursyam, perempuan berparas manis ini kepada mandarnesia saat bertandang ke rumahnya.
Selepas berjabat tangan bersenda guraulah sang Ibu ”cita-citanya sangat tinggi nak, apakah menjadi Polwan itu bisa dia capai? seolah-olah bermimpi di belakang telinga ini anakku kasian” kornea mata Sang Ibu berkaca-kaca saat kami wawancarai.
Namun sugesti kuat tetap memancar di mata Nursyam bahwa merubah nasib perempuan di mulai dari kemandirian ekonomi, mengasah dan menekuni potensi, pasti dengan keuletan cita-citanya akan tercapai.
Mengutip pesan RA. Kartini di perayaan Kartini Day 21 April 2019 ini “Kartini tidak setuju soal budaya yang memaksa wanita untuk tidak melanjutkan pendidikan karena harus ” Masuk Dapur”, Ia beranggapan bahwa seorang wanita berhak memperoleh persamaan, kebebasan, otonomi, serta kesetaraan dalam masyarakat”
Selamat Hari Kartini!
Tangguhlah dalam gerakan!