Oleh: Milha Mallawa Bakri,
Pegiat Literasi Anak Lontara Nusantara (ALTAR)
kebisingan terngiang ditelinga, desahan angin di alun-alun kota, membawa hati mengepak sayap melepas lelah
adakah rindu mengabarkan angin perubahan, ataukah sejenak melepas lelah,
hingga nyanyian berakhir di tepi gelas, dan pedagang gerobak sibuk memanjakan penikmat kopi,
puntung rokok, bekas isapan dicebur ke dalam ampas kopi,
Perdebatan idealisme perubahan tiada berakhir, dan lagi-lagi puntung rokok jadi saksi
gaya hidup menjadi palsu, budaya instan menggeser laku diri, nilai luhur tradisi yang sahaja pun terlupakan
Nilai tak pernah bergeser, nilai tetaplah nilai yang diagungkan
Laku diri tergeser,
ego dipertuhankan
ayat-ayat sosial hanya pemanis sesaat
di ujung jalan
keresahan masih membatin
deretan gerobak kopi di ruas jalan menjadi saksi, kehidupan harus diperjuangkan dan getirnya dinikmati dengan bergelas kopi
kemiskinan bukan tontonan menarik,
sampah berserakan pun tak elok di pandang mata
kemiskinan
sampah
musibah
sekuat jiwa
demi bertahan hidup
sekuat laku menyeru,
jaga alam
sebab kala musibah menyapa, kemiskinan bertambah
tong-tong sampah berwarna merah, kuning, hijau, bukan sekadar warna, sebab ada penanda bagi penjejak taman kota
Aku menyaksikan di atas trotoar, pahlawan berbaju orens, mengibaskan sapu, bermandikan keringat wangi
jiwa tulus memesrai waktu. Pagi, siang, bahkan senja tiada lelah, demi sebuah pesan,
bisakah laku diri mencintai, dan merawat bumi, sebesar kita mencintai diri.
Manusiakanlah alam, maka alam akan memanusiakan pula, menciderai alam, tentu alam akan berbalik menciderai manusia.
lalu sejenak diri bertanya dalam diam
mana kesadaran?
mencarinya kemana?
lari kemana,
lantas melempar kesalahan pada siapa?
Sampah nona, meninggalkan jejak, entah berapa kali tapak kaki jadi saksi,
seberapa banyak sampah berserakan entah kemana, nona meletakkan begitu saja, tahukah nona kantong kresek itu mengancam nyawa.
Di jalan, di tempat duduk, di ruang rapat, di atas kendaraan, jangan tanya di toilet sudah pasti itu sampah mu .
Eh nona manis, lagi asyik bermain tik tok, sembari makan gorengan, kantong kresek itu kau tinggal begitu saja seperti hati cinta usang yang kau campakkan
sungguh nona manis, cantik nan rupawan, ada apa gerangan, kornea mata terang melihat tong sampah berwarna merah, kuning, hijau berderet di taman kota menangis kesepian tanpa isi
Ah nona manis kau cantik, namun sayang beribu sayang, hati tidak hanya sebagai ruh ragawi. Entah kau tak tahu atau mungkin sengaja
namun hati perlu tertatih, melatih untuk peka, meski sekadar dua kantong sampah kresek warisan peradaban yang tak terurai bakteri
semesta menangis perih, tanah perlu dimanusiakan sebab tanah bukan tempat sampah. Tanah adalah ibu kandung kemanusiaan dan langitnya adalah air mata ayah
hingga kelak jasad berdamai dengan tanah, sampah-sampah itu menjadi bendera perang orang serakah
dan tertinggal hanyalah tangisan anak cucu di lipatan peradaban menggunting klipping cerita masa lalu
Alun-alun Kota Polewali
Rabu, 12 Februari 2020