Jurnalis di Bencana, Antara Relawan dengan Pengabar

Dari: KEGIATAN SERI WEBINAR “Literasi Kebencanaan di Indonesia untuk Menangkal Mis-Disinformasi”

mandarnesia.com–Media perlu memainkan perannya sebagai penjernih informasi, bukan malah mengamplifikasi informasi yang keliru. Berdasarkan hal tersebut di atas penting untuk berbagi informasi antara jurnalis, ekspertis, pemeriksa fakta, dan masyarakat mengenai literasi kebencanaan, sehingga meningkatkan kewaspadaan ketika muncul hoaks bencana.

Saat ini informasi sebuah peristiwa dengan cepat tersiar ke belahan dunia lain. Jika dulu terhitung bulan, sekarang dalam hitungan detik. Misalnya gempa yang terjadi 29 Desember 1820 tapi di media cetak 28 April 1821; dan kejadian 12 Agustus 1915 tetapi dimuat di koran 23 Desember 1915. Gempa di Majene 15 April 2021 lalu, sekian menit kemudian tersiar ke belahan bumi lain. Dalam tempo singkat, jutaan orang mengetahuinya.

Faktor pembeda adalah teknologi dan peran masyarakat yang bisa menyiarkan sendiri apa yang dilihatnya pada saat itu. Namun, itu beresiko, sebab pada saat yang sama, kabar bohong atau hoaks sama cepatnya tersebar dengan berita yang benar. Pada akhirnya, yang dianggap bisa menyebarluaskan berita yang bernar adalah jurnalis. Di sisi lain, di setiap bencana, jurnalis kadang menjadi korban atau penyintas. Mereka pun melakukan peran-peran kemanusiaan, yaitu menjadi relawan. Kadang ada yang melakukan keduanya (relawan dan pengabar) atau salah satunya saja.

Oleh sebab itu, AJI dan Google News Initiative mengadakan rangkaian webinar bertema besar “Literasi Kebencanaan di Indonesia untuk Menangkal Mis-Disinformasi”. Salah satunya dilaksanakan oleh AJI Kota Mandar, Selasa 13 April 2021.

“Tema webinar yang kami angkat adalah kejadian lokal yang mungkin juga dialami teman-teman jurnalis lain di Indonesia. Sewaktu membantu penangangan gempa Majene, kami melihat banyak teman jurnalis terlibat di lapangan, ada yang menjadi relawan ada juga yang tetap melakukan kerja-kerja jurnalis. Nah itu menarik, maka itu yang kami bicarakan di seri webinar literasi kebencanaan yang ditawarkan AJI Indonesia kepada kami. Adapun tujuan diskusi adalah untuk memperlihatkan peran kerelawanan yang dilakukan jurnalis di tengah kegiatan mereka mencari informasi dan menyebarkan berita. Setidaknya di diskusi terjadi perbincangan sejauh mana batas-batas yang bisa dilakukan seorang jurnalis ketika berperan ganda, antara pengabar dengan relawan, kaitannya dengan penegakan Kode Etik dan Kode Prilaku Jurnalistik.,” kata Muhammad Ridwan Alimuddin, Ketua AJI Kota Mandar.

Webinar membicarakan hal menarik dan berbagi pengalaman dari pelaku di lapangan. Acara yang dimoderatori Harmegi Amin menghadirkan pembicara, yaitu Reny Sri Ayu, jurnalis Kompas, anggota AJI Kota Makassar. Dia banyak melakukan liputan bencana alam, khususnya gempa di Sulawesi Tengah dan gempa di Sulawesi Barat. Pada hari kedua paska gempa sudah berada di Majene dan lama melakukan liputan tentang gempa Majene. “Memang ketika saya datang, tugas utamanya adalah untuk meliput, tapi dalam proses itu kita tak bisa mengabaikan peran kemanusiaan kita. Kadang saya tidak tahan menyaksikan realitas di lapangan, misal ada ibu yang habis melahirkan tidak memiliki ASI dan dia harus dibantu ibu lain agar bayinya tidak kelaparan,” kata Reni dalam paparannya.

Berikutnya, Zainal A. Ishaq, jurnalis mantan Ketua AJI Kota Kendari, dan Pemeriksa Fakta Tempo. Sewaktu gempa Palu, lama tinggal di sana melakukan liputan sekaligus melakukan kegiatan kerelawanan. Sebagai pengecek fakta memberi wawasan kepada peserta bagaimana jurnalis tetap bisa melakukan pengecekan fakta secara maksimal meski berada di daerah bencana. Menurut Zainal, “Sewaktu gempa Palu, saya bergabung dengan teman-teman relawan. Waktu itu kan saya freelance, jadi tidak ada kewajiban membuat dan mengirim berita. Belakangan saya banyak terlibat dalam gerakan agar ada semacam pusat informasi tentang apa yang terjadi di Palu, agar bukan hoaks yang tersebar. Selain itu, saya tetap melakukan kerja-kerja kerelawanan, misalnya membantu mencari tahu kerabat orang lain, yang mana kerabatnya meminta lewat media sosial.”

Pembicara ketiga adalah Neni Muhidin, pegiat literasi di Nemu Buku, Palu. Banyak melakukan kegiatan literasi kebencanaan di Sulawesi Tengah dan terlibat sebagai relawan. Banyak melihat aktivitas kerelawanan yang dilakukan oleh jurnalis. “Seharusnya untuk kita di Indonesia bukan hanya menguasai enam literasi dasar, tapi tujuh. Literasi dasar yang ketujuh itu adalah Literasi Kebencanaan. Dan agar masyarakat memiliki kesadaran, kepada mereka bukan hanya dikabarkan ‘peristiwa’ tapi juga apa yang terjadi sebelum dan sesudah itu,” terang Neni Muhidin.

Webinar yang bersub tema “Jurnalis di Bencana: Antara Relawan dengan Pengabar” dimulai pada pukul 15.00 wita sampai 17.30 wita. Diikuti 20-an peserta, baik yang di Zoom maupun mengikuti lewat siaran langsung di Yotube. Kegiatan terlaksana atas kerjasama AJI Kota Mandar, AJI Indonesia didukung Google News Initiative. (Rilis)