Ismail Zaman Now

Oleh: Muliadi Saleh

Satu kisah agung yang tertulis di langit dan membekas di bumi. Sebuah cerita yang tak lekang oleh waktu, tentang cinta seorang ayah kepada anaknya, tentang iman yang melampaui batas logika, dan tentang seorang anak muda yang memilih tunduk pada kehendak Tuhan—kisah Nabi Ibrahim dan anaknya, Ismail.

Kala itu, saat anak mulai tumbuh gagah dan mampu berjalan bersama ayahnya, Allah menguji keduanya dengan mimpi yang mencengangkan. Ibrahim melihat dirinya menyembelih Ismail. Sebuah perintah yang menggetarkan langit dan membingungkan bumi. Tapi Ibrahim, sang kekasih Tuhan, tidak menggugat. Ia justru mendekati anaknya dengan kata-kata lembut yang sarat makna: “Wahai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu.”

Dan jawaban Ismail pun menggetarkan sejarah. Ia tidak membantah, tidak berontak, tidak bersembunyi di balik ketakutan. Ia justru berkata dengan keteguhan yang tak biasa: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Beginilah wajah seorang anak dalam cahaya wahyu. Beginilah wajah iman dalam wujud muda. Ismail adalah potret seorang anak yang sejak kecil telah mengerti makna patuh, makna sabar, dan makna cinta sejati kepada Tuhannya. Ia bukan hanya taat, tapi juga ridha. Ia tidak sekadar menerima, tetapi juga menyerahkan diri sepenuhnya.

Kini, di tengah zaman yang dipenuhi suara-suara bising media sosial dan cahayanya gawai yang memancar siang malam, kita bertanya dengan getir: di manakah Ismail zaman ini? Di mana anak-anak yang mendengar dengan lembut kata-kata ayahnya, yang menghormati ibunya seperti Ibrahim menghormati wahyu?

Generasi sekarang adalah generasi yang terhubung ke dunia dalam satu sentuhan jari, tapi seringkali terputus dari nilai-nilai langit. Mereka cerdas, tapi mungkin kurang sabar. Mereka tangkas menjawab, tapi sering tak sempat mendengar. Mereka pintar dalam hal-hal teknis, tapi terkadang gagap dalam memahami makna adab dan iman.

Generasi Z: Antara Harapan dan Tantangan

Hari ini, kita hidup di era yang berbeda. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1996 hingga 2012, tumbuh dalam dunia yang serba digital. Mereka adalah generasi pertama yang benar-benar global, terhubung satu sama lain melalui internet dan media sosial. Namun, di balik konektivitas itu, mereka menghadapi tantangan yang tidak ringan.

Menghidupkan Kembali Semangat Ismail

Dalam menghadapi tantangan zaman, kita perlu menghidupkan kembali semangat Ismail dalam diri generasi muda. Semangat ketaatan, pengorbanan, dan keikhlasan. Ismail adalah simbol dari anak yang taat kepada orang tua dan patuh kepada perintah Allah, bahkan ketika perintah itu menguji batas kemanusiaannya.

Imam Syafi’i pernah berkata: “Jika kamu tidak tahan terhadap penatnya belajar, maka kamu akan menanggung bahayanya kebodohan.”

Kata-kata ini mengingatkan kita bahwa perjuangan dan pengorbanan adalah bagian dari proses menuju kebijaksanaan dan kedewasaan. Generasi Z perlu diajak untuk memahami bahwa kesuksesan tidak datang secara instan, melainkan melalui proses panjang yang penuh tantangan.

Peran Orang Tua dan Masyarakat

Orang tua memiliki peran penting dalam membentuk karakter anak-anak mereka. Mereka harus menjadi teladan dalam ketaatan dan keikhlasan, seperti yang dicontohkan oleh Nabi Ibrahim. Masyarakat juga harus menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan spiritual dan moral generasi muda.

Pendidikan tidak hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang pembentukan karakter. Sekolah dan lembaga pendidikan harus menanamkan nilai-nilai keislaman yang kuat, agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang beriman, berakhlak mulia, dan siap menghadapi tantangan zaman.

Kisah Ismail adalah cermin yang harus kita hadapkan kepada generasi hari ini. Bahwa bukan teknologi yang membuat mulia, tapi keikhlasan. Bukan kecerdasan yang memuliakan, tapi ketaatan. Ismail tidak tumbuh dalam dunia serba digital, tetapi ia hadir sebagai cahaya yang mengajarkan bagaimana menjadi anak yang saleh, kuat, dan lembut sekaligus.

Hari ini, banyak anak kehilangan panutan karena orang tua dan lingkungan tak cukup memberi arti dan pelajaran nilai dan prinsip hidup. Mereka tidak tumbuh dalam pelukan kisah para Nabi, tetapi dalam tayangan yang tak mengenal nilai. Mereka tak sempat menatap mata ayah ibunya, karena semua telah digantikan layar. Dalam keheningan malam, tak ada lagi cerita langit yang dibacakan sebelum tidur. Tak ada kisah Ibrahim dan Ismail yang dibisikkan di antara bantal dan selimut. Maka jangan heran jika generasi kita mulai asing pada kata “pengorbanan”.

Ismail mengajarkan bahwa keberanian sejati bukan melawan, tapi tunduk kepada kebenaran. Ia adalah simbol dari kekuatan spiritual yang tak tergoyahkan. Ia tidak membutuhkan senjata untuk gagah, cukup iman dan cinta. Inilah yang harus diajarkan kepada anak-anak kita hari ini. Bahwa kemuliaan bukan terletak pada berapa banyak pengikut di media sosial, tapi seberapa tulus mereka taat kepada perintah Allah dan hormat kepada kedua orang tuanya. Betapa langkanya anak seperti Ismail di zaman yang segala hal bisa dinegosiasi, bahkan urusan ibadah dan hormat.

Bila kita ingin menyelamatkan masa depan, kita harus menanam kembali benih Ismail di hati anak-anak kita. Bukan dengan paksaan, tapi dengan cinta. Bukan dengan ancaman, tapi dengan teladan. Kenalkan mereka pada Al-Qur’an bukan hanya sebagai bacaan, tetapi sebagai cahaya. Ajak mereka mencintai Nabi bukan hanya sebagai sejarah, tetapi sebagai inspirasi hidup.

Allah berfirman dalam Surah Al-Ankabut ayat 8: “Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya…” Sebuah perintah yang menegaskan bahwa kebaikan kepada orang tua adalah bentuk keimanan yang hakiki. Rasulullah pun bersabda: “Surga berada di bawah telapak kaki ibu.” (HR. An-Nasa’i). Maka bukankah surga pun menanti mereka yang hidup dengan adab dan ketaatan, seperti Ismail?

Ismail zaman now haruslah lahir dari rahim pendidikan yang penuh cinta dan iman. Dari keluarga yang tak hanya menyediakan fasilitas, tapi juga menanamkan nilai. Dari masyarakat yang tidak hanya menilai anak dari nilai ujian sekolah, tapi juga dari akhlaknya di rumah dan di jalan. Dari bangsa yang membanggakan generasinya bukan karena gemerlap dunia, tapi karena keluhuran jiwa.

Ismail bukan sekedar kisah masa lalu. Ia adalah teladan yang selalu relevan, bahkan semakin mendesak untuk kita hidupkan kembali. Ia bukan hanya anak Nabi, ia adalah simbol dari apa yang seharusnya menjadi karakter anak-anak kita: taat, patuh, sabar, penuh cinta, dan siap berkorban demi ridha Allah.

Semoga dari rumah-rumah kita, lahir kembali anak-anak yang lembut hatinya, kuat imannya, dan luas jiwanya. Anak-anak yang jika diuji, akan berkata seperti Ismail: “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan…”

Karena negeri ini tidak hanya butuh generasi cerdas, tapi juga generasi ikhlas. Negeri ini tidak hanya butuh Ismail di cerita, tapi juga dalam kenyataan. Negeri ini, kini dan nanti, selalu rindu kepada anak-anak yang tahu jalan pulang ke Tuhan.

Ismail bukan hanya tokoh dalam sejarah, tetapi juga simbol dari nilai-nilai luhur yang harus kita tanamkan dalam diri generasi muda. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh godaan, kita perlu menciptakan Ismail-Ismail baru yang siap berkorban demi kebaikan, taat kepada orang tua, dan patuh kepada perintah Allah.

Semoga kita semua, sebagai orang tua, pendidik, dan anggota masyarakat, dapat berperan aktif dalam membentuk generasi yang tangguh, beriman, dan berakhlak mulia. Generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat secara spiritual. Generasi yang siap menjadi penerus perjuangan para nabi dan ulama dalam menegakkan kebenaran dan keadilan di muka bumi.

 

Tentang Penulis:
Muliadi Saleh, penggagas Cinta Masjid Cinta Al-Qur’an (CMCA), alumnus Pesantren IMMIM, tinggal di Makassar. Aktif menulis opini, esai, dan artikel budaya.