Ini Tema The 12th Borobudur Writers and Cultural Festival 2023

Tulisan-tulisan yang termaktub dalam buku berjudul Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Pelestarian Warisan Budaya, kami jaring lewat progam Call for Paper. Dari buku tersebut akan dapat dibaca dan bahwa masih banyak aspek-aspek dari Ganesa yang belum dibahas oleh Bu Edi. Tatkala mengulas Ganesa Singosari yang atributnya banyak memiliki hiasan tengkorak, misalnya Bu Edi sama sekali tidak menyentuh berkembangnya religi Tantrayana pada zaman Kertanegara. Mengapa Ganesha pada zaman Singosari banyak memiliki atribut tengkorak kemungkinan besar karena Kertanegara menganut Tantrayana. Bu Edi juga sama sekali tak menyentuh masalah ritual Ganesha, baik di Bali maupun di India sampai sekarang ini upacara-upacara pemuliaan Ganesha masih berlangsung.

Di India, misalnya sampai sekarang terdapat festival Ganesha terkenal yaitu Festival Ganesha Chaturthi atau Vinayaka Chavithi. Festival ini adalah festival yang merayakan kedatangan Ganesha bersama ibunya ke bumi dari gunung para dewata Gunung Kailash. Festival ini dilakukan setiap tahun dan berlangsung selama 10 hari antara dalam bulan Agustus sampai September.

Tentu minat arkeologis Edi Sedyawati tak hanya meneliti Ganesa. Hampir seluruh aspek arkeologi Hindu-Buddha di Jawa, Sumatra dan Bali menjadi perhatian Edi Sedyawati. Bu Edi adalah ahli ikonografi dan pakar bahasa Jawa Kuno-Sansekerta, maka dari itu ia memiliki peralatan akademis yang cukup memadai untuk menganalisa berbagai temuan-temuan arca, prasasti sampai manuskrip-manuskrip kuno.

Salah satu yang hendak kami angkat juga adalah minat Bu Edi untuk terlibat dalam diskusi mengenai paham keagamaan di zaman Majapahit berupa teologi Siwa-Buddha. Seperti kita ketahui pada periode Majapahit terjadi sinkretisme antara paham Siwa dan Buddha yang memunculkan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Dalam kitab Sutasoma, misalnya dijelaskan bahwa Buddha tidak berbeda dengan Siwa. Ahli arkeologi dari Belanda J.H.C Kern, berpendapat betapa pun terdapat percampuran antara Buddha dan Siwa di Jawa. Namun, kedua agama tersebut tetap dibedakan satu sama lain. Pada 1982, Penerbit Djambatan menerjemahkan dan menerbitan tulisan J.H.C. Kern dan W.H. Rasser mengenai persoalan Siwa-Buddha di atas dalam buku berjudul Civa dan Buddha. Kedua penulis itu memiliki perbedaan pendapat sedangkan pemberi kata pengantar panjang dalam buku tersebut adalah Edi Sedyawati.

Bu Edi – dalam kata pengantarnya melakukan pemetaan pemikiran para arkeolog Belanda maupun Indonesia yang memiliki pendapat-pendapat berbeda atas persoalan itu. Di samping pendapat Kern, Rasser – ia mengulas pendapat N.J Kromm, Pigeaud, Soewito Santoso, Haryati Soebadio, Supomo. Ternyata dari dokuemen Bu Edi, antara para arkeolog itu belum ada kesatuan pendapat mengenai dokumen sinkretisme Siwa-Buddha di zaman Majapahit. Menurut arkeolog Kusen dan Inajati A.R., dalam tulisan mereka yang dimuat di buku berjudul 700 Tahun Majapahit (1293-1993): Sebuah Bunga Rampai hal itu membuat tema Siwa-Buddha tetap menjadi masalah terbuka dan menarik untuk dikaji lebih lanjut. Oleh karena dari itulah dalam kesempatan perayaan Bu Edi, kami akan mengundang para-para pakar baik dari Jawa maupun dari Bali yang melakukan penelitian terbaru atas tema Siwa-Buddha ini.

Bu Edi juga dikenal sangat expert dalam dunia tari, baik dari kajian relief maupun kajian dunia seni pertunjukan Indonesia. Pada tahun 1981, Penerbit Sinar Harapan menerbitkan kumpulan tulisan tari Edi Sedyawati dalam buku bertajuk Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Sinar Harapan, 1981). Dalam buku itu, Bu Edi membahas jalan perkembangan tari Indonesia sampai kajian arkeologi tari yang menganalisa relief-relief percandian kita yang memiliki visual adegan tari. Bu Edi misalnya sangat cemerlang membedah relief tari Prambanan maupun Borobudur. Dengan ketelitian akademis tinggi, ia membandingan sikap dasar berdiri, motif-motif gerak tungkai kaki, motif-motif gerak tangan adegan-adegan tari yang ada di relief kedua candi dengan pose-pose tari baku yang ada di dalam buku klasik standart Natya Sastra dari India. Sangat langka sekali arkeolog yang mampu membedah gerak tari di relief demikian detail sebagaimana Edi Sedyawati.

Pokok bahasan Bu Edi untuk memahami sejarah seni Indonesia terentang panjang mulai studi sejarah musik, tari dan teater, problem-problem tari kontemporer yang berbasis tradisi sampai “bilingualism” teater tradisi kita. Bu Edi, memang juga dikenal seorang kritikus tari. Bu Edi sangat aktif menulis baik di Majalah Tempo, Harian Kompas maupun The Jakarta Post, baik dalam bentuk resensi-resensi pertunjukan tari tradisi maupun kontemporer Indonesia. Ia misalnya pernah mereview pentas koreografer Gusmiati Suid (almarhum) sampai pentas koreografer Amerika terkemuka Paul Taylor. Maka dari itulah sebuah sesi di documenter nanti akan dipersembahkan untuk membahas kontribusi Edi Sedyawati yang besar dalam mengarungi dunia tari Indonesia.

Sebagaimana dikatakan di atas, di samping sebagai akademisi yang sangat produktif menulis arkeologi dan mengembangkan kritik tari, Edi Sedyawati adalah birokrat kebudayaan yang berhasil. Di zaman Bu Edi aktif menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan, dia banyak mengadakan festival-festival seni di dalam negeri, progam-progam diplomasi kebudayaan serta misi-misi kesenian ke luar negri, mengagas tata seni dari pusat sampai daerah hingga aktif memberi kata sambutan pada acara-acara kebudayaan mulai dari sambutan pameran sampai sambutan pembukaan kongres-kongres.

Sedemikian banyaknya kata sambutan yang diberikan Bu Edi sampai Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pernah menerbitkan buku Kumpulan Sambutan Prof. Dr. Edi Sedyawati sebagai Direktur Jendral Kebudayaan tahun 1999.

Saat menjabat sebagai Dirjen Kebudayaan, beliau juga sangat mendukung progam ITASA (Indonesian Technical Assistance for Safeguarding Angkor) yang mengirim para arkeolog Indonesia ke Kamboja untuk memugar empat gerbang situs Royal Palace Kawasan Angkor Watt. BWCF pernah mengunjungi empat gerbang Royal Palace, Angkor dan melihat sampai kini pondok bekas tempat bekerja sehari-hari arkeolog Indonesia tidak dirubuhkan. Bu Edi juga pernah menginisiasi progam Art Summit yang secara fenomenal mendatangkan berbagai tokoh seni dunia seperti pelopor Butoh dan Kazuo Ohno ke Jakarta.

Berkaitan dengan diplomasi kebudayaan Indonesia ini, tentu bila Bu Edi masih hidup sekarang beliau urun rembug tentang pengembalian arca-arca Singosari dari Leiden termasuk arca Ganesa yang pernah ditelitinya. Tema pemulangan artefak-artefak kita yang berada di Eropa atau Amerika ini penting. Karena ini menyangkut segala hal mulai dari kemampuan pemerintah berdiskusi dengan pihak museum-museum luar sampai kesiapan museum-museum kita sendiri menyimpan dan merawat serta mengekhibisikan artefak-artefak publik secara menarik.