Ini Tema The 12th Borobudur Writers and Cultural Festival 2023

MANDARNESIA.COM, Malang — Tribute to Edi Sedyawati (1938-2022) Ganesa, Seni Pertunjukan, dan Repartriasi Benda-Benda Purbakala Indonesia Almarhum Prof. Dr. Edi Sedyawati, mantan Direktur Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (1993-1998) adalah sosok intelektual yang memiliki banyak dimensi pemikiran.

Beliau arkeolog yang mumpuni, seorang pengamat tari (dan juga penari) yang luas pengetahuannya akan karya tari baik tradisi maupun modern. Serta seorang birokrat kebudayaan yang memiliki pengaruh sangat besar dalam kebijakan-kebijakannya. Di zamannya seni dan kebudayaan seolah menjadi roh, bagian dari jiwa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Edi Sedyawati wafat pada 11 November tahun lalu dalam usianya yang ke-84 tahun. November ini setahun meninggalnya Bu Edi. Untuk memperingati setahun kepergiannya BWCF (Borobudur Writers and Cultural Festival) bermaksud menyelenggarakan sebuah festival yang merayakan pemikiran Edi Sedyawati. Sejumlah acara mulai dari pidato kebudayaan, launching buku, dokumenter, lecture, bazar buku, serta workshop yang berkaitan dengan dunia arkeologi dan tari yang digeluti oleh Bu Edi, hingga pergelaran seni pertunjukan dan sastra akan dilaksanakan.

BWCF adalah sebuah festival tahunan yang selalu berusaha menonjolkan relevansi pemikiran-pemikiran mengenai nusantara dalam kehidupan. Dalam 12 tahun perjalanannya, BWCF selalu mengangkat kajian-kajian serius tentang topik tertentu dalam khazanah nusantara. Dalam setiap penyelenggaraanya, BWCF mendatangkan puluhan pakar lintas disiplin dari arkeologi, sejarah, antropologi sampai filologi. Diharapkan dengan adanya forum ini, kekayaan pemikiran nusantara dapat terangkat kembali dan dikenali oleh khalayak luas termasuk generasi milenial.
Salah satu strategi BWCF berkaitan dengan hal itu berusaha mengangkat kembali disertasi atau buku monumental seorang ilmuawan yang mengkaji nusantara untuk dieksplorasi gagasan-gagasannya demi pemajuan kesenian dan kebudayaan kontemporer Indonesia. Di antaranya, BWCF pernah mengangkat tema Ratu Adil yang dibahas dalam disertasi milik sejarawan Peter Carey mengenai Diponegoro.

Selain itu, BWCF sebelumnya juga pernah mengangkat disertasi milik Romo Zoetmulder tentang teologi Jawa yaitu Manunggaling Kawula Gusti. Serta pemikiran Claire Holt, peneliti Amerika yang di tahun 60-an menulis sebuah buku sangat berpengaruh di lingkungan akademis tentang sejarah seni di nusantara dengan judul Art in Indonesia: Continuities and Change.
Tahun 2022, BWCF mengangkat pemikiran almarhum arkeolog Hariani Santiko, rekan kerja Edi Sedyawati yang wafat lebih dahulu.

Disertasi Hariani yang dipertahankan di Universitas Indonesia tahun 1987 berjudul Kedudukan Batari Durga di Jawa pada Abad X-XV Masehi. Disertasi tersebut kami anggap sangat penting dan langka karena menyajikan data dan dokumen mengenai salah satu heritage arkeologi kita yang hebat tetapi dilupakan dan jarang dibahas: arca-arca Durga.

Tahun 2023 ini, giliran spektrum pemikiran Edi Sedyawati yang kami pilih sebagai tema utama BWCF. Disertasi Edi Sedyawati berjudul Pengarcaan Ganesa Masa Kadiri dan Singhasari: Sebuah Tinjauan Sejarah Kesenian sama pentingnya dengan disertasi Hariani Santiko. Durga (Parwati), Agastya dan Ganesha dikenal adalah pantheon utama Hindu. Mereka adalah keluarga Siwa. Di setiap candi Hindu di Jawa selalu ada arca Durga, Ganesa, Agatsya (utusan Siwa). Ganesha dikenal dengan banyak nama, antara lain: Ganapati (pemimpin para Ghana), Vighnesvara (pengendali halangan), Vinayaka (pemimpin utama), Gajanana (yang berwajah gajah), Gajadhipati (dewa para gajah), Lambkarna (yang bertelinga lebar), Lambodara (yang berperut besar), Ekadanta (bergading tunggal).

Secara keseluruhan Ganesha adalah dewa pengetahuan juga seorang dewa perwira yang bisa mengatasi musuh, halangan, dan rintangan. Jumlah arca Ganeha yang ditemukan di Jawa jauh lebih banyak daripada jumlah arca Durga. Arkeolog Belanda N.J. Krom pernah mencatat perbandingan penemuan arca Ganesha-Durga-Agatsya di Jawa adalah 22-5-2. Artinya jauh lebih banyak temuan arca Ganesha daripada Durga maupun Agatsya. Edi Sedyawati dalam disertasinya melakukan penelitian secara teliti atas 169 arca Ganesa. Salah satu kesimpulannya adalah arca Ganesa dari periode Singosari memiliki ciri-ciri tersendiri yang solid, yaitu antara lain: tangan kanan belakang Ganesa memegang kapak, tangan kiri belakang menggenggam tasbih, kedua tangan (baik kanan-kiri) depan memegang mangkuk tengkorak, kaki tambunnya menginjak tengkorak (asana tengkorak), mengenakan anting-anting tengkorak dan mengenakan pita di belakang kepala. Unsur aksesoris tengkorak yang menonjol tersebut merupakan kekhasan Ganesha periode Singosari.

Sampai hari ini, penelitian tentang Ganesa tidak berhenti pada disertasi Bu Edi. Sebab, penemuan-penemuan arca Ganesa terus bermunculan saat eksvakasi situs-situs di Jawa atau ditemukan tak sengaja oleh warga desa. Pada tahun 2019, misalnya warga Dusun Genengan, Desa Bangsri, Kecamatan Ngariboyo, Kabupaten Magetan menemukan arca Ganesa batu cukup besar yang memiliki ikonografi tak lazim. Arca Ganesa itu mempunyai rambut panjang ikal terurai – sehingga penduduk menyebutnya Ganesha berambut gimbal dan di belakangnya ada ukiran naga. Hal tersebut sangat menarik karena di luar pengarcaan Ganesha pada umumnya.

Dalam memperingati penelitian Bu Edi tentang Ganesha, kami akan mengundang pakar-pakar baik dari luar negeri, Jawa dan Bali membicarakan Ganesha yang masih menyimpan misteri. Kami akan me-launching sebuah buku dengan isi sekitar 1000 halaman yang memuat tentang artikel-artikel mengenai Ganesa dan seni pertunjukan yang ditulis para peneliti.