Laporan: Karmila Bakri
MAJENE, mandarnesia.com-Suara lantunan lagu Indonesia Raya bergema dari dalam aula Hotel Vila Bogor Leppe Majene, Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Riuh semangat mengalun “Bangunlah jiwanya bangunlah raganya untuk Indonesia Raya”.
Sepenggal bait lagu kebangsaan mengantarkan peserta forum tersugesti, memantik diri untuk meresapi kecintaan terhadap tanah air.
40 peserta terdiri dari beberapa perwakilan kabupaten di Sulbar hadir meruang dalam satu tujuan di forum dialog sejarah dan budaya dengan tema “Relevansi Sejarah dan Budaya bagi Pembangunan Sulawesi Barat”.
Kegiatan ini diinisiasi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pelaksanaanya dimulai pada tanggal 21 hingga 24 April 2019.
Ada sembilan narasumber yang memenuhi dahaga serta memantik diskusi-diskusi kritis. Kadang pula disisipkan sentilan-sentilan, petuah-petuah dari sesepuh adat, kalindaqdaq dari para budayawan, serta mengabarkan realita dari bibir-bibir pegiat literasi dan seni.
Beragam latar belakang peserta menjadi keunikan tersendiri dalam forum. Ketua DPRD Kabupaten Majene Darmansyah juga hadir sebagai peserta forum.
Ia mengikuti semua rentetan materi. Posisi peserta sama di ruang produktif tersebut, siap memuntahkan ide, menuai saran dan kritik serta berekspresi tanpa batas. Namun, tetap dalam koridor etika budaya.
Toga moderator menjadi penyemangat ditiap materi, ada Muhammad Munir dari founder Rumpita. Ia salah satu pegiat literasi yang senantiasa konsen digerakan literasi wilayah Sulbar. Kemudian Tamalele. Sosok budayawan senior pula sepak terjangnya sebagai tokoh inspiratif telah banyak melahirkan kader-kader di berbagai liding sektor.
Kesederhana, bersahaja serta menjadi panutan bagi generasi saat ini. Ada juga Thamrin. Ia adalah founder Museum I Manggewilu. Sosok inspiratif digerakan literasi senantiasa memberi suplemen produktif untuk tumbuh kembangnya generasi literasi.
Sementara dari narasumber dengan sajian materinya yakni
Drs. Thalib Banru (Integritas dan Idealisme Kepemimpinan dalam Kearifan Lokal Orang Mandar), Prof.Dr.Ir.H.MirAlam, B. M. Si (Spritualitas Lingkungan, Pertautan Sains, Budaya, dan Agama, dan Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan).
Kemudian Dr.Abd.Rahman Hamid ( Historiologi Maritim Mandar, Pendekatan dari dalam), Dr.Aco Musaddad HM (Merawat Budaya, Merawat Sulawesi Barat), Dr.H.Idham, M. Si (Relevansi Sejarah dan Budaya bagi Pembangunan Sulawesi Barat).
Selain itu ada juga Muhammad Ridwan Alimuddin (Kebijakan Tak Berbasis Budaya Bahari), Bustan Basir Maras (Siri Sebagai Investasi Sosial dan Budaya dan Pemantik Pembangunan Lita’ (tanah) Mandar Sulbar), Dra.Hj.Masgaba.MM (Eksistensi Makanan Tradisional dalam Upacara Lingkaran Hidup di Majene), serta Abd.Karim.M.Si (Jaringan Maritim dan Perdagangan Orang Mandar di Teluk Tomini Abad XIX).
Rentetan materi memberi asupan bagi peserta, forum diskusi melahirkan sebuah kesepakatan-kesepakatan bersama. Seteguk kopi di Villa Bogor Leppe menjadi saksi bahwa sejarah dan budaya digaungkan bukan sebatas membincang “Siapa Tokoh-tokoh masa lalu?”.
Tapi, sedianya ketokohan dan kebudayaan masa lalu itu menjadi suplement “Laku Diri” untuk saling memanusiakan di masa kini. Tentu dengan aksi membaca realitas dengan gerakan berbudaya”
Ketua panitia Syahrir Kila dari BPNB Sulsel menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah bekerja mensukseskan kegiatan itu.
Ia menyampaikan apresiasinya, karena kegiatan tersebut berhasil dan melahirkan sebuah kesepakatan bersama. Keterlibatan berbagi unsur sebagai penanda suksesnya kegiatan itu.
Adapun hasil rumusan yang direkomendasikan baik pembicara maupun para peserta dialog adalah sebagai berikut, pertama pengadaan bahan ajar atau informasi dasar tentang sejarah dan kebudayaan Mandar untuk edukasi ke lembaga pendidikan dan komunitas masyarakat. Kedua, fasilitas riset untuk penulisan sejarah dan kebudayaan komunitas masyarakat penutur bahasa Pattae, Pannei, Pakkado’, Dakka, Kone-Kone’e, Pa’denro, Budong-Budong dan lain-lain.
Ketiga, pendokumentasian ritual adat, manuskrip, dokumen, kuliner, dan cerita rakyat di daerah Provinsi Sulbat. Keempat, pendataan situs dan cagar budaya peninggalan sejarah di Sulbar. Kelima, Kongres Kebudayaan Mandar Tahun 2020. Keenam, revitalisasi dan Pembangunan Museum di Seluruh Kabupaten di daerah Sulbar.
Ketujuh, pembangunan tanggul di pesisir mesti dilengkapi dengan AMDAL. Kedelapan, pembangunan Sekolah Budaya/Kampung Budaya. Kesembilan, Revitalisasi Rumah Adat dan Kawasan Taman Budaya Sulbar. Kesepulu, mengukur keberhasilan pemimpin berdasarkan tradisi dan kearifan lokal Mandar, dan kesebelas, Pelibatan Sejarawan dan Budayawan dalam kegiatan Musrembang.
Tuturan kutipan dari Tamalele menjadi energi untuk digerakkan. Ia mengatakan, ciri-ciri orang yang berbudaya adalah orang yang paham asal usulnya. “Nah tugas kita mengkaji lipatan-lipatan sejarah yang terlipat selama ini,” ujar Tammalele.
Mari merawat Sulbar dengan mengenal Identitas sejarah dan budaya. Karena siapa yang tak mengenal sejarah dan budayanya maka akan kehilangan identitas.