Pemerintah Indonesia menang telak dalam gugatan oleh perusahaan tambang asal Inggris “Churchill Mining Plc” dan anak perusahaannya “Planet Mining Pty Ltd” yang berkedudukan di Australia di forum arbitrase International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington DC, Amerika Serikat.
Dalam perkara No. ARB/12/14 dan ARB/12/40, komite ICSID yang terdiri dari Judge Domonique Hascher, majelis yang terdiri dari Profesor Karl-Heinz Bocktiegel dan Profesor Jean Kalicki pada 18 Maret 2019 memutuskan untuk memenangkan pemerintah Republik Indonesia dengan menolak semua permohonan pembatalan atau annulment of the award yang diajukan oleh para penggugat.
Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H Laoly mengatakan kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini sudah bersifat final dan berkekuatan hukum tetap. Dengan demikian tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh para penggugat.
Yasonna menjelaskan bahwa perjuangan pemerintah selama enam tahun ini membuahkan kemenangan yang manis, dan juga sebagai pembuktian bahwa pemerintah Indonesia mampu memenangkan gugatan-gugatan internasional, dimana dulu selalu dipandang sebelah mata oleh banyak pihak.
Dengan memenangkan perkara ini, kata Yasonna, pemerintah Indonesia terhindar dari klaim sebesar USD1,3 miliar atau sekitar Rp18 trililiun. Sebaliknya pihak penggugat harus membayar denda kepada pemerintah Indonesia senilai USD9,4 juta, atau sekitar Rp140 miliar.
“Saya sendiri menghadiri beberapa kali sidang ICSID-nya di Singapura. Tidak mudah. Kita sampai mendatangkan ahlinya betul-betul ahli dokumen dari AS, mereka juga mendatangkan ahli mereka, argumennya pengacara mereka. Nah apa yang mau kita sampaikan di sini bahwa pemerintah yang dulu kalah besar, sekarang kalau digugat begini kita gak boleh memandang lagi sebelah mata. Pemerintah Indonesia mampu melawan gugatan perkara internasional yang besar asal memang kita betul-betul sejak awal commit,” ungkap Yasonna.
“Satu pelajaran yang penting sejak awal kita memberi perhatian serius, mulai dari penentuan hak kita menentukan siapa arbiternya, tahap-tahap awalnya ini sangat penting, tahap awal ini sangat menentukan, tidak boleh lalai. Jadi ini saya katakan buat kami ini adalah sweet victory, ini yang menambah kepercayaan kami, pemerintah, bertarung di forum-forum internasional untuk gugatan-gugatan yang menurut kita bisa kita bertarung dan kita bisa menang,” tambah Yasonna dalam konferensi pers di Gedung Kemenkumham, di Jakarta, Senin (25/3).
Ditambahkanya, sebenarnya para penggugat sudah kalah pada 6 Desember 2016. Namun pada 31 Maret 2017 para penggugat mengajukan permohonan pembatalan putusan (annulment of the award) berdasarkan Pasal 52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Konvensi ICSID).
Salah satu argumen yang diajukan para penggugat adalah bahwa telah terjadi suatu penyimpangan yang serius dari aturan prosedur yang mendasar, namun pada akhirnya pemerintah Indonesia tetap memenangkan perkara ini. (Baca dokumen:Permohonan pembatalan putusan oleh Churchill Mining PLC ditolak)
Kemenangan Indonesia Beri Pesan Tegas pada Investor Asing
Kemenangan ini, kata Yasonna. Memberi pesan yang tegas kepada para investor asing yang hendak menanamkan modalnya di Indonesia untuk mematuhi prosedur perijinan dan hukum yang berlaku. Banyak investor asing, yang tidak melakukan tahapan-tahapan tersebut termasuk tidak melakukan uji kelayakan atau due diligence yang baik dan benar.
“Satu hal lagi, menangnya kita ini, juga memberi pesan khusus kepada investor asing yang punya niat atau itikad tidak baik kalau mau berinvestasi. Mereka kadang-kadang kan tidak melakukan due diligence yang baik, ini kan sedang due diligence, kenapa hendak berinvestasi dengan tidak melihat dulu bagaimana surat-suratnya, data-datanya, dalam bidang legalnya seperti apa dan lain-lain, hak-hak yang ada disitu. Ini pesannya serius kepada mereka, hati-hati. Kalau dulu kan banyak kita digugat berguguran, kalah kita, jadi sekarang agak hati-hati lah,” paparnya.
Pemerintah Tolak Jaminan Penggugat
Dalam kesempatan yang sama Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenkumham Cahyo Rahadian Muhzhar mengatakan, pihak pemerintah akan terus berupaya menagih denda yang harus dibayarkan para penggugat kepada pemerintah Indonesia senilai USD9,4 juta dolar.
Selain itu, pemerintah juga menolak jaminan para penggugat yang diberikan yaitu berupa tanah di hutan di Kalimantan Timur, yang baik nilai ataupun status tanahnya tidak bisa dijadikan sebagai jaminan. Pihaknya pun akan bekerja sama dengan beberapa negara untuk menelusuri aset-aset para penggugat yang mungkin bisa disita sebagai pembayaran atas award tersebut.
“Kita pemerintah harus aktif. Churcill itu perusahaan mining yang basednya di UK, dan Planet Mining di Australia. Kita harus mulai di situ dulu. Tapi tentunya pertama kita akan bicara dengan pengacara mereka, dengan award ini, Anda bisa penuhi gak? Tapi saya terus terang mereka akan berusaha, proses annulment saja mereka masih berusaha untuk membatalkan, kita akan cari jalan untuk mengenforced ini, aset mereka kan pasti ada, tapi tentunya kan kita harus bekerja sama dengan negara lain juga, kalau prinsip kami adalah kapan pun kita kejar,” jelas Cahyo.
Penggugat Awalnya Tuduh Indonesia Langgar Perjanjian Bilateral Investasi
Kasus ini bermula saat para penggugat menuduh pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI Australia.
Pelanggaran yang dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakukan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/ Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IU Eksploitasi) anak perusahaan para penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas kurang lebih 350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada 4 Mei 2010. Para penggugat mengklaim bahwa pelanggaran tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar USD1,3 miliar atau kurang lebih Rp18 miliar.
Terhadap gugatan tersebut, pada 6 Desember 2016, majelis mahkamah pengadilan arbitrase internasional yang dikenal sebagai “International Centre for Settlement of Investment Disputes” (ICSID), yang terdiri dari Profesor Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michale Hwang SC dan Profesor Albert Jan van den Berg (Tribunal ICSID) menolak semua klaim yang diajukan oleh para penggugat terhadap Republik Indonesia. Tribunal ICSID selanjutnya juga mengabulkan klaim pemerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya perkara (award on costs) sebesar USD9,4 juta.
Dalam jalannya persidangan, yang kemudian ditegaskan dalam putusannya, Tribunal ICSID menerima argumen dan bukti-bukti, termasuk keterangan ahli forensik yang diajukan oleh pemerintah Indonesia yang dengat tegas dapat membuktikan adanya pemalsuan, yang kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen.
Ada 34 dokumen palsu yang diajukan para penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi-asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah. Tribunal ICSID sepakat dengan argumen pemerintah Indonesia bahwa “investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional”.
Tribunal ICSID juga menemukan bahwa, “Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perijinanya (lack of diligence)”. Sehingga berdasarkan, di antaranya, fakta dan pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan, Tribunal ICSID menyatakan klaim dari para penggugat ditolak. (gi/em)