In Memoriam Danarto

In Memoriam Danarto -

Syaefudin Simon

“Assalamualaikum. Hallo Mas Danarto. Ini Simon. Masih ingat?”

“Oh ya..ya. Ingat. Apakabar Simon. Waalaikum salam?”

“Baik Mas. Alhamdulillah. Mas Dan, aku ingin silaturahim dengan sampeyan. Boleh ke rumah? Kangen Mas. Sudah lama tak jumpa. Mungkin 15 tahunan.”

“Ya..ya Simon. Aku juga kangen. Tapi sebaiknya, ketemunya di mall Pondok Indah saja. Atau di Carrefour Lebak Bulus. Sekarang aku di Bali. Sedang ada seminar sastra. ”

“Kenapa gak bisa bertemu di rumah Mas Dan. Aku siap ke Bukit Indah, Ciputat?”

“Aku tak punya rumah sekarang, Simon. Aku kos di rumah orang. Cuma sekamar. Gak enak kalau ada tamu.”

“Baik Mas Dan. Kita atur lagi jadwal ketemunya. Nanti sepulang dari Bali. Sampai jumpa Mas Dan.”

Di kemanakan rumahnya? Dijual? Bukankah Danarto pernah mendapat Bakri Award dalam bidang sastra yang nilainya 250 juta rupiah? Aku curiga saja, rumahnya dijual dan uang Rp 250 juta itu diberikan kepada orang lain yang membutuhkan. Danarto adalah orang yang hidupnya sederhana. Sederhana sekali. Mungkin saja, setelah pisah dengan istrinya, Siti Zaenab Luxfiati, Danarto tak lagi membutuhkan rumah BTN sederhana itu. Apalagi Danarto tak punya anak.

Enam bulan lalu, aku memang kangen betul dengan Danarto. Gaya ngomongnya yang sabar, mau mendengar, dan gaya bahasanya yang halus benar-benar ngangeni. Aku kenal dan akrab dengan Danarto selama tiga tahun, antara 1997 sampai tahun 2000-an. Aku sering bercanda dan mendengarkan imajinasi Danarto. Setelah itu, aku jarang sekali jumpa. Hanya say hello lewat telpon.

“Simon, seandainya Malaikat Jibril tidak ada, apakah kau masih percaya dengan agama Islam?”

“Aku diam saja. Tak bisa menjawab.”

“Kalau Mas Dan bagaimana?”

“Masih ada Allah. Mungkin tak ada agama di dunia. Islam apa lagi. Tapi Allah kan tetap ada. Entah nama agamanya apa, aku tetap percaya Allah itu ada. Cukup Allah saja. Tak perlu agama. ”

“Ha? Danarto pun tersenyum.”

Suatu ketika, di sebuah vila di Puncak, aku melihat Danarto sedang chatting. Ia asyik mengetik sendiri dan tersenyum-senyum membaca mitra chattingnya.

“Mas Dan, sedang chatting dengan siapa? Kok muncul sendiri tulisan teman Mas Dan di layar komputer. Bukankah di sini tak ada koneksi internet?”

“Gak tahu Simon. Tiba-tiba ada tulisan muncul sendiri di layar komputer. Ya sudah, aku ajak chatting.”
“Apa Mas Dan tanya, siapa dia?”

“Kayaknya Malaikat Jibril.”

“Ha? Ini gila. Ngayal? Aku hanya bengong saja. Tak mengerti bagaimana cara Danarto bertemu Malaikat Jibril di layar komputer!”

Bagiku, Danarto adalah penulis fiksi teraneh di dunia. Ia menulis tanpa logika. Cerpen-cerpennya sangat intutif. Lancar mengalir dalam imajinasinya yang unik.

Dalam kumpulan cerpen “Godlob” yang mendapat pujian sastrawan, Danarto menjungkir-balikkan logika manusia. Ia tak peduli bagaimana orang melongo ketika membaca cerpen-cerpennya. Baca kutipan cerpen Godlob:

‘’Anakku, maafkan ayahmu. Kau harus kubunuh!’’
‘’Ayah dengan cara demikian ayah hendak menjadikanku pahlawan? Ayah menghalallkanku?

Istrinya marah. Ia pun membalas kematian anaknya. Ia bunuh suaminya. Dengan demikian, ayah dan anak, dua-duanya menjadi pahlawan.

Godlob adalah cerpen Danarto yang menggemparkan jagat sastra. Danarto dengan baik sekali menceritakan absurditas manusia yang suka perang. Perang, tulis Danarto, adalah keisengan manusia belaka. Saking absurdnya.

Cerpen Godlob, mengingatkan kita pada tulisan sastrawan JP Sastre dari Perancis dalam drama Pintu Tertutup. “Pahlawan adalah orang yang tak pernah bersalah. Karena itu, agar kau jadi pahlawan, maka maafkanlah dirimu sendiri.”

Renungkan petikan narasi dalam Godlob. Sang Ayah minta maaf kepada anaknya yang akan dibunuhnya. Sedangkan sang anak, menyatakan, apakah dengan demikian ayah hendak menjadikanku pahlawan? Danarto sesungguhnya tengah mengekspresikan imaji eksistensialisme Sartre dalam bentuk cerpen.

Cerpen Godlob yang ditulis Danarto tahun 1967-an memang sangat relevan dengan zamannya. Zaman “Perang Dingin” antara Barat (Amerika dan sekutunya) dan Timur (Uni Soviet dengan sekutunya) yang membuat manusia sejagat cemas. Dalam kecemasan itulah, lahir drama-drama eksistensialis karya JP Sartre dan cerpen-cerpen absud karya Danarto.

Seperti cerpen-cerpennya, Danarto yang senang suifisme, juga menjalani kehidupan dengan absurd. Suatu ketika, saat kami tinggal bersama di sebuah vila di Puncak, Cianjur, Dunuk – panggilan akrab istrinya – berbisik kepadaku.

“Simon, jangan ganggu Mas Dan. Ia sedang asyik melukis di kamar.”

“Melukis apa?”

“Melukis Dewi Kwan Im. Mas Dan baru saja melihat Dwi Kwan Im di langit Puncak.”

Aku pun terpingkal-pingkal. Lucu dan aneh sekali. Tapi nyata. Danarto memang percaya, istrinya adalah reinkarnasi Dewi Kwan Im. Sedangkan dirinya, reinkarnasi Sidharta Gautama. Wow banget.

Itulah Danarto. Absurd. Tapi Danarto juga pinter melucu. Dan kelucuannya berkualitas.

Inilah kisah lucunya.

Danarto bercerita kepadaku, ia pernah ditodong perampok. Celakanya, perampok itu masuk ke dalam mobilnya. Ia duduk dibangku depan, sambil menodongkan pisau. Perampok sangar itu minta uang. Danarto bilang, tak bawa uang. Tapi perampok memaksa agar mengambil uang di rumahnya. Perampok mengikutinya di dalam mobil.

Danarto pun mengikuti perintah perampok. Begitu sampai di kompleks pemakaman dekat rumahnya, Danarto turun. Ia bilang ke perampok, mau ambil uang. Danarto langsung menuju sebuah bangunan kecil di dalam kompleks makam. Di dalam bangunan itu, Danarto ganti baju putih. Ia copot celananya. Baju putih yang ukurannya besar itu, ia kenakan tanpa dilinting lengannya yang kepanjangan. Ujung lengan baju putih pun menjurai ke bawah. Dalam gelap malam yang pekat, Danarto tertawa menirukan kuntilanak sambil menggoyang-goyangkan lengan bajunya yang kepanjangan itu.

Begitu sampai dekat pintu gerbang makam, ternyata sang perampok lari tunggang langgang. Ia ketakutan. Dikiranya ada kuntilanak. Danarto pun tertawa. Selamat dari perampokan.

“Dasar perampok kampungan. Takut kuntilanak, tapi berani mengancam orang,” kata Danarto sambil tersenyum Aku pun tertawa ngakak. “Pinter sampeyan Mas Dan,” komenku.

Dalam buku “Orang Jawa Naik Haji” yang best seller, Danarto juga bercerita tentang pengalamannya yang lucu di Mekah. Ketika berdesak-desakan salat di Masjidil Haram, tiba-tiba Danarto merasa terkurung dalam kegelapan. Ia bingung, kenapa berada dalam situasi yang gelap dan berbau apek.

Di mana aku? Apakah berada dalam lorong gaib? — batin Danarto. Ternyata setelah sadar, ia terjebak dalam jubah orang Afrika yang tinggi besar. Pantes gelap dan apek, tulisnya.

Danarto yang hidup nyufi dan sepi, kini telah tiada. Ia tertabrak sepeda motor di Ciputat, Selasa siang. Danarto meninggalkan dunia dengan kesendirian yang sunyi. Tanpa istri, tanpa anak. Sejumlah wartawan dan sastrawan, teman-teman Danarto, menungguinya di rumah sakit Fatmawati. Sampai ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Selamat Jalan Mas Dan. Kau kini tidak sendiri lagi. Istrimu, bidadari yang cantik dan anak-anakmu yang lucu — seperti yang kau ceritakan dalam cerpen-cerpenmu — kini tengah menunggumu di surga

Salam dari sahabatmu, Simon, di Bekasi.

Foto: Mercon.id