Iktibar dari Aceh, Palu Hingga Lombok Utara

Oleh Adi Arwan Alimin

DI atas barung-barung di pantai Sire, Lombok Utara. Akmal, lelaki asal Banda Aceh itu mengisahkan detik-detik tsunami yang meluluhlantakkan Tanah Rencong 14 tahun silam. Ada gurat kesedihan yang melintas di wajahnya, lalu kemudian terlihat amat sungguh-sungguh. Mimiknya sebagai lelaki Aceh terasa kental dalam berkisah.

Penulis, bersama Darlinsyah rekan asal Belitung, Kang Asep staf protokol KPU RI, Yan Marli komisioner KPU NTB, juga Pudja Sutamat dari KPU Maluku Utara, duduk melingkari di balai seluas tak lebih satu kali dua meter itu. Masyuk kami mendengar detail kisah Akmal. Sambil menyeruput es buah, dan menikmati makan siang dengan lauk ikan bawal, serundeng, dan ayam goreng khas Lombok. Nun di sana gugus gunung berapi Rinjani menjulang bersama awan di 3.726 mdpl.

Pagi itu ketika gempa mengguncang Aceh, ia sedang bersama tim sosialisasi untuk program wawasan kebangsaan saat masa darurat Aceh. Mereka menginap di salah satu hotel di Meulaboh. Hari yang disebutnya sebagai kiamat itu, bergerak seperti biasa awalnya. Usai shalat subuh, ia kembali mencoba terlelap, tetapi kawan sekamarnya yang juga narasumber acara, tiba-tiba mengajaknya meninggalkan kamar begitu terasa goncangan.