Iduladha dan Sekolah Kehidupan: Saatnya Belajar tentang Makna Memberi

oleh
oleh

Oleh: Fathullah Wajdi, Suryadi Ishak, Sahrul Syawal *)

Iduladha, ibarat sebuah pelajaran yang datang bukan dari buku, tetapi dari langit yang menurunkan hujan kesabaran ke bumi. Di sana, di tengah hewan yang disembelih, ada suara lirih yang mengajarkan kita makna memberi dan berkorban. Seperti anak sungai yang tak pernah jenuh mengalirkan airnya untuk menghidupi daratan, begitu pula pendidikan yang sejati—penuh dengan pengorbanan dan memberi tanpa henti.

Hari ini, kita akan belajar di dalam kelas kehidupan yang besar ini. Mari kita buka buku pelajaran kita dan mulai menulis catatan tentang bagaimana memberi dan berkorban bukanlah beban, melainkan jalan untuk mencapai pendidikan yang sempurna.

Iduladha bukan sekadar perayaan yang datang dengan kerumunan dan riuhnya pasar hewan. Ia adalah sebuah petualangan batin yang membawa kita ke lembah kesungguhan hati. Bayangkan Ibrahim, seorang ayah yang harus melepaskan anaknya, Ismail, seperti seorang petani yang harus menanam benih terbaiknya di tanah yang keras, berharap tumbuhnya akan memberi manfaat bagi banyak orang. Ia rela melepaskan yang paling ia cintai untuk sebuah janji yang lebih besar—sebuah pengorbanan yang mengajarkan kita bahwa hidup adalah sebuah siklus memberi dan menerima yang tak pernah berhenti berputar.

Bagi kita, Iduladha adalah pengingat bahwa pendidikan yang kita terima bukanlah hadiah yang datang begitu saja. Ia seperti tanah yang harus dipersiapkan dengan penuh kesabaran, mengolahnya dengan tangan yang penuh ketulusan, agar buah yang dipetik kelak berbuah lebat. Begitu pula dengan pengorbanan, yang sering kali datang dengan berat, namun menghasilkan keberkahan yang tak terduga.

Pengorbanan sebagai Pilar Pendidikan

Pendidikan adalah seperti seorang pengukir yang membentuk patung dari sepotong batu keras. Seiring berjalannya waktu, setiap ketukan pahat mengikis sedikit demi sedikit untuk menghasilkan sebuah karya seni yang sempurna. Pengorbanan dalam pendidikan adalah pahat yang mengukir kehidupan kita, menghilangkan segala yang tidak perlu, membentuk diri menjadi pribadi yang lebih baik.

Pendidikan yang sempurna membutuhkan pengorbanan seperti api yang membakar hutan. Tanpa api, hutan tidak akan terbuka untuk menerima cahaya matahari, dan tanpa pengorbanan, pendidikan kita tidak akan pernah berkembang sepenuhnya. Untuk menjadi bijak, kita harus rela berkorban—mengorbankan waktu bermain, mengorbankan keinginan sesaat, untuk meraih impian yang lebih tinggi. Begitu juga dengan Ibrahim, yang mengorbankan anaknya, kita pun harus siap mengorbankan hal-hal kecil demi mencapai tujuan besar yang lebih berarti.

Jika pendidikan adalah sebuah perjalanan panjang, maka pengorbanan adalah roda yang membuat perjalanan itu bergerak. Tanpa roda, kereta akan terhenti di tengah jalan, tak bisa bergerak ke tujuan. Begitu pula dengan pengorbanan dalam proses belajar, tanpa pengorbanan, kita tidak akan sampai ke tujuan. Mengorbankan waktu, tenaga, dan bahkan kenyamanan demi sebuah tujuan adalah bagian dari perjalanan itu sendiri.

Namun, perjalanan itu bukan hanya soal mencapai tujuan, tetapi tentang bagaimana kita belajar sepanjang jalan. Pengorbanan adalah jembatan yang menghubungkan kita antara titik awal dan titik akhir, antara ketidaktahuan dan pengetahuan. Setiap pengorbanan yang kita lakukan, seperti menambahkan batu-batu besar ke dalam bangunan kita, akan memperkokoh fondasi pendidikan kita.

Nilai Memberi dalam Pengorbanan

Memberi adalah seperti sebuah sungai yang mengalirkan airnya tanpa henti ke lautan luas. Tak pernah ada habisnya. Air yang diberikan oleh sungai itu tidak mengharap kembali, namun ia menjadi bagian dari lautan yang lebih besar. Begitu pula dengan memberi dalam pengorbanan. Memberi bukan tentang apa yang kita beri, tetapi tentang bagaimana memberi tanpa mengharap balasan.

Pendidikan mengajarkan kita untuk memberi, bukan hanya dalam bentuk materi, tetapi memberi dalam bentuk waktu, perhatian, dan ilmu. Seperti seorang tukang kebun yang menyiram tanaman dengan sabar, kita memberi ilmu kepada orang lain agar mereka juga bisa tumbuh dan berkembang. Memberi adalah tindakan yang memperkaya, bukan hanya bagi yang menerima, tetapi juga bagi yang memberi. Ia adalah lingkaran yang terus berputar, membawa manfaat bagi semua.

Membentuk Karakter Melalui Pengorbanan

Karakter kita dibentuk seperti sebuah ukiran pada batu—setiap goresan adalah hasil dari pengorbanan dan pilihan yang kita buat. Seperti pahat yang terus memahat, pengorbanan adalah proses yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat dan lebih tahan banting. Pendidikan tanpa pengorbanan adalah seperti seni tanpa rasa—ia akan datar dan kosong.

Ketika kita mengorbankan waktu dan tenaga untuk belajar, kita sedang menempa karakter kita agar menjadi lebih tajam dan lebih tajam. Pengorbanan itu tidak selalu indah, tetapi ia selalu membentuk. Seperti petani yang mengolah tanah keras untuk mendapatkan hasil yang baik, kita harus sabar dan rela bekerja keras dalam proses pembelajaran, agar hasilnya kelak menjadi berkah yang luar biasa.

Iduladha sebagai Refleksi Kehidupan dan Pembelajaran

Iduladha adalah cermin dari kehidupan kita—sebuah refleksi yang mengingatkan kita untuk melihat diri kita dalam cahaya yang lebih jelas. Setiap hewan yang disembelih adalah simbol dari pengorbanan yang harus kita lakukan, baik itu untuk diri sendiri, keluarga, atau masyarakat. Ia mengingatkan kita bahwa hidup ini tidak hanya tentang apa yang kita dapatkan, tetapi tentang apa yang kita berikan.

Seperti cermin yang memantulkan wajah kita, pengorbanan dalam Iduladha mencerminkan jiwa kita yang bersih dan tulus. Pendidikan juga demikian. Ia mencerminkan siapa kita sebenarnya, bukan hanya berdasarkan nilai yang kita peroleh, tetapi dari sejauh mana kita bersedia mengorbankan kenyamanan untuk menjadi lebih baik.

Pelajaran dari Nabi Ibrahim: Keteladanan Pengorbanan

Ibrahim, dalam ketulusan hatinya, adalah bintang yang memandu kita melalui gelap malam. Ia adalah contoh bagaimana pengorbanan yang tulus dapat mengubah dunia. Seperti seorang petani yang menanam benih dengan penuh harapan, Ibrahim menanamkan pengajaran dalam hati kita—bahwa pengorbanan yang dilakukan dengan penuh iman akan selalu membuahkan hasil yang lebih besar dari apa yang kita bayangkan.

Kita, seperti Ibrahim, harus belajar untuk mengorbankan ego dan keinginan pribadi untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Pendidikan tidak hanya tentang apa yang kita pelajari di dalam kelas, tetapi tentang bagaimana kita mengorbankan kenyamanan kita untuk belajar lebih dalam dan lebih luas.

Dalam dunia pendidikan modern, kita sering kali terjebak dalam pola-pola yang mengharapkan hasil instan. Namun, pendidikan yang sejati adalah seperti ladang yang harus dibajak terlebih dahulu sebelum bisa ditanam. Pengorbanan adalah bagian tak terpisahkan dari ladang itu. Tanpa pengorbanan, pendidikan kita hanya akan menjadi tanaman liar yang tumbuh tanpa arah.

Mari kita belajar untuk mengaplikasikan nilai pengorbanan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Pengorbanan dalam belajar, dalam mengajar, dan dalam memberi. Seperti tukang kebun yang merawat setiap tanaman dengan penuh kasih, kita pun harus merawat pendidikan ini dengan hati yang ikhlas dan tangan yang rela bekerja keras.

Iduladha adalah sekolah kehidupan, tempat kita belajar tentang makna memberi dan berkorban. Seperti biji yang tumbuh menjadi pohon besar, pengorbanan adalah akar yang menguatkan kita untuk mencapai pendidikan yang sempurna. Dalam setiap pengorbanan, ada pelajaran yang membentuk kita menjadi pribadi yang lebih kuat, lebih bijak, dan lebih siap menghadapi dunia. Mari kita terus belajar dan mengorbankan diri kita untuk menjadi lebih baik, agar hidup kita dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi banyak orang.

*) Penulis adalah Pemerhati Pendidikan dari TIM Eksternal Riset Ikantan Alumni Jogjakarta (IKAJO), Dosen PPs Universitas Negeri Makassar