Ibu Agung Hj. Andi Depu : Simbol Perlawanan Rakyat dan Nasionalisme

Ia mungkin dikdirkan menjadi Perempuan Pahlawan Pertama bagi Sulawesi Barat, untuk membangkitkan semangat Towaine Mandar untuk bangkit dari keterpurukan. Ia mungkin ditakdirkan menjadi wanita yang punya karakter kelelakian atau ca’muane, agar semua Tommuane di Mandar menjadi sosok yang muane. Ia memang wanita, tapi gelar sebagai Tomuanena Mandar telah lama tersematkan dalam dirinya. Tomuane adalah sebuah kondisi dimana seseorang telah mampu mempertegas jatidirinya sebagai sosok yang berani membela tanah airnya dan bahkan siap merelakan jiwanya untuk jadi tumbal perjuangannya.

Nilai Juang…..yah nilai juang inilah yang kurang dalam kehidupan generasi kita hari ini. Mereka lebih asik menikmati hari-harinya dengan gawai. Bahkan bekerja dan belajar kini dengan android. Tak heran jika kemudian tak jarang kita menemukan banyak generasi instan, generasi yang tak mau melalui proses yang rumit. Ketiak mau makan, mereka tak lagi harus ke dapur, melainkan pesan melalui ponsel. Celakanya, merka kebanyakan belajar apasaja, termasuk belajar agama pada google. Imbasnya adalah, mereka kelihatan pintardan banyak tahu, tapi tak banyak yang faham dan berberkah, sebab mereka tak lagi pernah mencium tangan para annanggur. Inilah fenomena yang menimpa generasi kita, sehingga akan semakin sulit menemukan generasi intan sekelas Andi Depu, Baharuddin Lopa, Husni Djamaluddin, Darwis Hamzah, Muchtar Hosein, dan sebagainya.

Tahun 1923 saat Andi Depu berumur 15 tahun, ia dinikahkan dengan seorang putera bangsawan tinggi Mandar yang bemama Andi Baso Pawiseng, kepala distrik Campalagian. Ia adalah turunan raja Balanipa yang ke-46, Tokape. Setelah tahun menikah, ayah Andi Depu bersama istri dan seorang anaknya berangkat menunaikan ibadah Haji tahun 1927. Pada saat itu perjalanan haji memakan waktu yang berbulan-bulan lamanya, dan keadaan ini berpengaruh dalam pemerintahan. Oleh karena jabatan Maradia tidak boleh dibiarkan kosong, akhirnya dengan persetujuan pemerintah Hindia Belanda di Mandar, maka disetujuilah suami Andi Depu, Andi Baso Pawiseang menjabat sebagai pelaksana tugas arajang sampai Lajju Kanna I Doro kembali. Penunjukan itu, tidak lepas dari campur tangan Asisten Residen Belanda yang berkedudukan di Majene. Mereka melihat, Andi Baso Pawiseang lebih mudah dirangkul, dan selama ini memperlihatkan kerjasamanya yang baik.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. I Lajju Kanna I Doro wafat dan kemudian dikebumikan di Jeddah. Posisi sebagai Maradia Balanipa tetap dilanjutkan oleh suami Andi Depu. Oleh karena perkembangan politik yang semakin tidak menentu dengan timbulnya sejumlah gerakan-gerakan sosial yang mengatas namakan kelompok bangsawan yang tersingkirkan, Pemerintah Hindia Belanda memulihkan kembali jabatan raja. Pada tahun I931, Andi Mappanyukki diangkat menjadi raja, dan demikian pula Andi ldjo Karaeng Laloang diangkat menjadi raja di Kerajaan Bone pada tahun 1936, termasuk Andi Baso Pawiseang telah menjadi aarajang Balanipa yang defenitif. (Bersambung)