Hijrah Digital: Menjadi Bangsa Cerdas dan Bermoral di Era Teknologi

Oleh: Muliadi Saleh

SEORANG anak kecil duduk di sudut masjid sambil menatap layar gawai. Di tangannya, Qur’an digital terbuka. Sesekali jarinya menyentuh ayat yang hendak dibacanya. Tak jauh dari sana, sang ayah berselancar di laman berita daring, mencari kabar terbaru seputar dunia dan negeri. Mereka berdua hadir dalam dunia yang sama, namun hidup dalam semesta baru: semesta digital.

Hijrah bukan sekadar berpindah tempat. Ia adalah transformasi nilai, kesadaran, dan arah hidup. Maka dalam konteks zaman ini, hijrah digital adalah panggilan suci untuk bermigrasi dari dunia analog menuju era teknologi—dengan akal sehat, iman yang jernih, dan akhlak yang mulia.

Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Hijrah digital, sejatinya adalah perubahan dari dalam: niat, ilmu, dan moral yang kokoh untuk menghadapi dunia maya yang luas dan liar.

Dunia Layar Sentuh

Dulu, belajar berarti membuka buku, mendengarkan guru, menulis di papan. Kini, layar menjadi jendela ilmu. Tak terbatas ruang dan waktu. Internet menyulap desa menjadi kota, sudut masjid menjadi kampus, dan pojok warung kopi menjadi forum diskusi.

Namun, apakah kita hanya ingin menjadi bangsa melek teknologi tanpa moral spiritual?

Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad)

Maka bangsa yang besar bukan hanya mereka yang menguasai sains dan algoritma, tetapi juga yang menanamkan etika dan adab di balik setiap klik dan unggahan.

Teknologi Tanpa Moral: Pisau Bermata Dua

Teknologi bagaikan pisau: bisa digunakan untuk memotong buah, bisa juga melukai sesama. Jika tak dilandasi moral dan iman, dunia digital justru menjadi ladang maksiat, tempat penyebaran hoaks, ujaran kebencian, pornografi, dan perpecahan.

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Ujaran di dunia digital tak boleh sembarangan. Setiap kata yang diunggah akan menjadi saksi, menjadi jejak amal. Bahkan Rasulullah mengingatkan:

“Seseorang bisa mengucapkan satu kalimat tanpa memikirkan bahayanya, namun karena itu ia dilemparkan ke dalam neraka sejauh antara timur dan barat.”
(HR. Bukhari)

Literasi Digital dan Fikih Media

Hijrah digital bukan hanya perkara kecepatan internet dan spesifikasi gawai. Tapi tentang literasi digital dan fikih media. Literasi untuk menyaring informasi, menjaga privasi, melindungi keluarga dari konten negatif. Dan fikih media untuk menimbang apa yang boleh dan tidak boleh diunggah, ditonton, dibagikan.

Allah SWT berpesan:

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra: 36)

Jangan asal sebar. Jangan asal percaya. Jangan asal ikut tren. Sebab setiap aktivitas digital adalah amal yang kelak akan ditimbang.

Generasi Hijrah

Kita menginginkan generasi yang tak hanya mampu membuat konten, tapi juga bisa mengaji. Tak hanya bisa viral di TikTok, tapi juga merunduk dalam sujud. Tak hanya menguasai AI dan algoritma, tapi juga hafal ayat-ayat Tuhan.

Rasulullah SAW bersabda:

“Dunia itu terlaknat dan segala yang ada di dalamnya juga terlaknat, kecuali zikir kepada Allah, orang-orang yang berilmu dan orang yang belajar.”
(HR. Tirmidzi)

Inilah panggilan hijrah digital: untuk menempatkan teknologi sebagai wasilah (sarana), bukan sebagai tujuan. Untuk menjadikan internet sebagai alat dakwah, bukan tempat maksiat. Untuk membangun peradaban yang berakar pada tauhid dan akhlak.

Cahaya di Kegelapan Digital

Hijrah digital bukan hanya soal update aplikasi, tapi upgrade akhlak. Bukan hanya koneksi ke jaringan, tapi juga koneksi ke langit.

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu.”
(QS. Al-Ahzab: 70–71)

Kini, saatnya kita menyalakan obor. Jadilah bangsa yang bukan sekadar pengguna, tapi pengarah. Jadilah muslim yang bukan sekadar pandai bicara di media sosial, tapi juga tangguh dalam kesabaran dan santun dalam perbedaan.

Jalan Peradaban: Hijrah Digital!

Hijrah digital adalah panggilan sejarah. Seperti Nabi berhijrah demi menyelamatkan risalah, kita pun hari ini berhijrah agar nilai-nilai Islam tetap hidup dalam dunia maya.

Hijrah dari lalai menjadi sadar. Dari gegabah menjadi bijak. Dari konsumtif menjadi kreatif. Dari pengeluh menjadi pelaku perubahan.

Sebab bangsa ini tak hanya butuh sinyal kuat, tapi juga nilai kuat. Bukan hanya broadband yang cepat, tapi juga iman yang mantap.

Hijrah digital bukan hanya pilihan. Ia adalah kewajiban moral kita semua—agar Indonesia tak hanya cerdas secara teknologi, tetapi juga mulia dalam adab dan bermartabat dalam iman.

Muliadi Saleh:
Penulis, Pemikir, dan Penggerak Literasi dan Kebudayaan
Moto: Menulis Untuk Menginspirasi, Mencerahkan, dan Menggerakkan Peradaban