Hijrah dan Luka Pendidikan: Saat Karakter Berhenti di Kurikulum

Hijrah sebagai Revolusi Pendidikan

Pendidikan harus kembali menjadi ladang kasih, bukan ladang kompetisi. Kita butuh keberanian untuk mengatakan bahwa nilai 100 tidak lebih mulia daripada sikap hormat kepada sesama. Kita harus berani meninggalkan sistem yang membunuh kepekaan dan menggantinya dengan budaya yang menyuburkan empati.

Hijrah dalam pendidikan adalah keberanian membongkar topeng sistemik, untuk melihat wajah manusiawi di baliknya. Ia bukan soal berpindah nama kebijakan, tapi berpindah dari ketidakpedulian menuju kepedulian. Dari instruksi menuju inspirasi. Dari mengejar laporan menuju merawat kehidupan.

Saat ini, dunia sedang bergerak cepat. Informasi bisa diajarkan oleh mesin, tapi hati manusia hanya bisa disentuh oleh hati. Maka, pendidikan sejati harus menjadi tempat di mana kemanusiaan ditanam, bukan hanya kecerdasan. Di sinilah makna hijrah menemukan aktualisasinya: bukan sekadar berpindah kurikulum, tapi berpindah kesadaran—dari yang semu menuju yang sejati.

“Hijrah dalam pendidikan bukan sekadar berganti sistem, tapi berpindah dari ketidakpedulian menuju kepedulian.”

 

Sekolah yang Kehilangan Kompas

Di ruang guru, letih bukan sekadar rasa, tapi telah menjelma menjadi suasana. Perbincangan tak lagi berkisar pada tumbuh kembang murid, tapi pada tenggat laporan, kekurangan anggaran, dan tumpukan berkas. Guru perlahan menjauh dari peran sejatinya: pendamping jiwa. Mereka kini menjelma pengolah data, petugas administrasi yang terpenjara dalam sistem yang lebih banyak meminta daripada memberi ruang untuk menyentuh batin.

Anak-anak melangkah ke gerbang sekolah dengan ransel penuh, tapi hati yang kosong. Mereka diajarkan menyusun jawaban, namun tak pernah diminta merenungi pertanyaan yang sesungguhnya penting: siapa aku, dan untuk apa aku hidup? Mereka dibimbing menaklukkan ujian akademik, bukan ujian nurani. Padahal dunia yang menanti tidak peduli dengan nilai matematika mereka, tetapi dengan ketulusan empati yang mereka miliki.

Sistem pendidikan kita seperti kapal yang terus melaju, tapi tak pernah mengecek arah angin. Semua tampak sibuk bekerja, tetapi jarang yang berhenti untuk bertanya: apakah tujuan kita masih tentang kemanusiaan, atau telah bergeser menjadi sekadar laporan dan grafik capaian? Kita membuat anak-anak berjalan cepat, namun tak tahu ke mana mereka seharusnya menuju. Mereka haus makna, tapi yang kita suguhkan hanyalah kurikulum dingin.

Hijrah, dalam dunia pendidikan, bukan sekadar berganti format atau istilah. Ia adalah keberanian untuk berbalik arah, untuk mendengarkan ulang suara-suara yang selama ini dibungkam. Dari sekadar menjalankan protokol ke membuka ruang bagi kesadaran. Pendidikan tak bisa hanya dibimbing oleh juknis dan SOP—ia butuh nyawa, dan nyawa itu bernama nilai.

Jika guru diibaratkan nakhoda, maka sudah sepatutnya mereka tak hanya sekadar menjalankan perintah dari dek atas. Mereka perlu diberi arah, tapi juga hak untuk membaca bintang. Kita harus mengembalikan guru ke tempat mulianya sebagai penjaga cahaya, bukan sekadar operator sistem. Sebab bila guru kehilangan sinar, murid akan tersesat dalam kegelapan—meski ditemani layar sentuh dan jaringan internet berkecepatan tinggi.

“Pendidikan sejati bukan pencapaian, tapi perjalanan untuk menjadi manusia.”

 

Karakter bukan Hafalan, tapi Kehidupan

Karakter tidak tumbuh dari suara keras, tapi dari tindakan yang tenang dan konsisten. Ia hadir dalam diam, dalam ketulusan seorang guru yang memilih menunggu murid yang lambat memahami, dalam kebijakan sekolah yang merespons kesalahan bukan dengan hukuman, melainkan pelukan. Pendidikan karakter adalah proses penyembuhan, bukan proses penghakiman.

Anak-anak lebih cermat menangkap gestur daripada mencatat definisi. Mereka lebih mudah meniru sikap guru daripada mengingatkan kembali isi modul. Maka jika sekolah benar-benar ingin membentuk karakter, ia harus menjadi lingkungan yang hidup dalam nilai, bukan sekadar berbicara tentangnya. Keteladanan tak bisa dipalsukan, dan anak-anak tahu itu.

Saat ini, pendidikan kita lebih sering memaksakan nilai kepada anak, alih-alih membiarkan mereka mengenal dan mencintainya sendiri. Padahal nilai hidup tak bisa dijejalkan. Ia harus dialami. Anak-anak harus merasa apa itu kejujuran, memahami makna tanggung jawab, dan menyentuh empati—bukan sekadar menuliskannya di lembar soal ujian.

Tak peduli seindah apa kurikulum disusun, jika guru tidak diberi waktu dan dukungan untuk menjadi manusia seutuhnya, maka semua nilai luhur itu hanya akan menggantung di langit konsep. Karakter tak bisa dicetak lewat pengawasan, ia tumbuh dari relasi. Dari pertemuan mata yang jujur, dari percakapan kecil yang hangat, dari kehadiran yang tulus.

“Anak-anak tidak butuh sekolah yang mewah, tapi sekolah yang mau mendengar.” 

Hijrah dari Sistem menuju Kesadaran

Kini, yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berhijrah dari sistem yang hanya menyusun, menuju kesadaran yang membimbing. Kita harus meninggalkan kebiasaan mengagungkan dokumen, dan kembali ke misi sejati pendidikan: membentuk manusia. Kita harus lebih sering bertanya: “Apakah anak-anak merasa dihargai?” dibanding hanya menghitung prosentase ketercapaian indikator.

Hijrah sejati dalam pendidikan bukan hanya tentang berpindah aturan atau metodologi, tapi tentang mengganti cara melihat anak: bukan sebagai objek pelaporan, tapi sebagai makhluk hidup yang sedang tumbuh. Pendidikan bukan sekadar proyek tahunan pemerintah, ia adalah peristiwa batin yang sakral, perjumpaan antara jiwa yang mendidik dan jiwa yang dididik.

1 Muharram seharusnya menjadi momen menyadari bahwa transformasi sejati belum terjadi. Bahwa di balik megahnya gedung sekolah, masih ada ruang kelas yang hampa makna. Bahwa di balik tumpukan kebijakan, masih banyak anak-anak yang merasa tak dilihat. Bahwa hijrah belum selesai.

Hijrah Rasulullah bukan perjalanan fisik semata. Ia adalah pergerakan menuju cahaya, menuju pemulihan martabat manusia. Maka hari ini, hijrah paling genting bukan lagi melintasi padang pasir, tetapi menyeberangi kebekuan sistem, menembus kebiasaan-kebiasaan lama yang menumpulkan hati dalam pendidikan.

Anak-anak tidak membutuhkan guru yang sempurna, tapi guru yang hadir sepenuh hati. Mereka tidak butuh sekolah yang mewah, tapi sekolah yang mau mendengar. Mereka tidak mencari nilai seratus, tapi tempat yang membuat mereka merasa cukup sebagai diri sendiri. Pendidikan sejati bukan pencapaian, tapi perjalanan untuk menjadi manusia.

Dalam dunia yang semakin tergesa dan serba instan, pendidikan harus menjadi oasis. Tempat di mana jiwa boleh bernafas, di mana kegagalan tak langsung dihukum, di mana perbedaan dirayakan, dan di mana setiap anak dihargai bukan karena rapornya, tetapi karena dirinya.