Oleh: Fathullah Wajdi, Suryadi Ishak, Sahrul Syawal | Penulis adalah Dosen PPs Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Pemerhati Pendidikan dari TIM Eksternal Riset Ikatan Alumni Jogjakarta (IKAJO)
TAHUN baru Hijriah datang kembali, mengalir seperti embun pagi yang kerap diabaikan oleh jiwa-jiwa yang terlampau sibuk dengan rutinitas duniawi. 1 Muharram bukan sekadar peristiwa kalender, melainkan simbol pergeseran zaman—dari pekatnya ketertindasan menuju cahaya nilai yang membebaskan. Namun, di tengah perayaan yang penuh formalitas dan gema doa yang rutin, satu pertanyaan menderu dalam diam: apakah pendidikan kita turut melangkah bersama semangat hijrah, ataukah ia tetap membeku dalam kebiasaan yang tidak bermakna?
Hijrah kini sering dijadikan kutipan dalam pidato, dijadikan label dalam kegiatan sekolah, tetapi kehilangan substansinya dalam perilaku nyata. Perjalanan Rasulullah dari Mekkah ke Madinah bukan sekadar migrasi geografis, melainkan transformasi sosial dan spiritual. Ia adalah kisah tentang keberanian meninggalkan belenggu stagnasi demi membangun peradaban berbasis akhlak dan kasih. Sementara itu, pendidikan kita tampak seperti karavan yang tersesat di padang pasir: berpindah-pindah kebijakan, tapi tak pernah benar-benar sampai pada esensi.
Revisi demi revisi kurikulum menjadi rutinitas birokrasi yang seolah tanpa ruh. Kata-kata seperti “merdeka belajar” atau “karakter unggul” menjadi dekorasi semantik tanpa fondasi nyata. Di ruang-ruang kelas, yang tumbuh bukanlah kesadaran moral, melainkan kepatuhan prosedural. Anak-anak diajarkan tentang kejujuran melalui teks, tapi menyaksikan kebohongan dipraktikkan oleh mereka yang seharusnya menjadi teladan.
Dalam pusaran sistem yang serba administratif, guru dituntut untuk mencetak nilai, bukan membentuk nurani. Kita begitu khusyuk mencatat angka kredit, tetapi abai pada keretakan batin murid. Ironi itu menganga lebar: pendidikan karakter dirayakan dalam seminar, namun terabaikan di ruang kelas. Nilai-nilai luhur yang tercantum dalam silabus tak pernah benar-benar hidup dalam interaksi harian.
“Kita seperti petani yang terus mengganti cangkul, tapi tak pernah menengok kualitas tanah yang digarap.”
Pendidikan Karakter: Antara Narasi dan Kenyataan
Jika hijrah adalah keberanian menanggalkan kenyamanan yang menyesatkan, maka dunia pendidikan kita telah menjadikannya sebagai parade tanpa langkah. Kita ajarkan keberanian, tetapi takut membongkar sistem yang tidak manusiawi. Kita puja tanggung jawab, tapi menyerahkannya pada mesin dan rumus tanpa jiwa. Pendidikan karakter hanya menjadi bagian dari akreditasi, bukan denyut nadi kehidupan sekolah.
Anak-anak kita dibanjiri definisi moral, tetapi miskin pengalaman hidup yang menggugah hati. Mereka tahu apa itu empati, tapi tak pernah merasakannya dari guru yang menegur tanpa sentuhan cinta. Kita mengucap toleransi, namun membiarkan perundungan menjalar dalam diam. Kurikulum berbicara tentang budi pekerti, tapi kelas lebih sering menjadi ladang kompetisi ketimbang ladang kasih.
Hijrah Rasulullah adalah revolusi nilai. Ia tidak membawa diktat, tapi menghidupkan keteladanan. Ia tak memaksa dengan aturan, tapi menyentuh melalui adab. Pendidikan kita, sayangnya, lebih sibuk mengatur narasi daripada menghayati makna. Sekolah kehilangan identitasnya sebagai rumah jiwa, tergantikan oleh atmosfer produksi nilai dan dokumen.
Tahun demi tahun, sistem pendidikan kita mengganti format dan metode. Dari KTSP ke Kurikulum 2013, dari Kurikulum 2013 ke Kurikulum Merdeka—semuanya menjanjikan perubahan, namun lupa memperbaiki hati yang menjalankannya. Kita seperti petani yang terus mengganti cangkul, tapi tak pernah menengok kualitas tanah yang digarap.
Karakter telah terjerat dalam administrasi. Guru diminta mencatat indikator sikap, tapi tak diberi waktu dan ruang untuk memanusiakan prosesnya. Pendidikan spiritual berubah menjadi ritual laporan. Kita lebih takut salah prosedur daripada kehilangan makna. Akhirnya, karakter menjadi kosmetika: indah di dokumen, rapuh dalam kenyataan.
Anak-anak kita menjadi korban sistem yang mengukur manusia dengan angka. Mereka dijejali materi ujian, tapi dibiarkan sendirian saat patah hati. Mereka bisa menjelaskan teori etika, tapi tak tahu bagaimana bersikap saat kecewa. Pendidikan berubah menjadi pabrik yang menyiapkan produk pasar, bukan ladang yang menumbuhkan jiwa.
“Karakter bukan hafalan, tapi kehidupan.”
Keteladanan yang Hilang di Ruang Kelas
Kita sering berbangga dengan ranking dan akreditasi, tapi menutup mata pada suara lirih murid yang tidak pernah dimengerti. Mereka membawa luka yang tak terlihat, keresahan yang tak terucap. Mereka datang ke sekolah, bukan untuk bertumbuh, tetapi untuk bertahan. Pendidikan, yang seharusnya membebaskan, justru membelenggu dengan tekanan dan ekspektasi palsu.
Hijrah mestinya menjadi tonggak transformasi batin, tapi dalam dunia pendidikan, ia tereduksi menjadi simbol tanpa substansi. Kita bergerak dalam kata, tapi diam dalam makna. Kita mengganti sistem, tapi tidak memperbarui cara pandang. Kita kehilangan ketulusan, dan tersesat dalam kemegahan palsu.
Ketika guru kehilangan semangat, murid pun kehilangan panutan. Ketika sekolah menjadi institusi yang kaku, anak-anak tumbuh dengan jiwa yang beku. Guru menjadi robot birokrasi, bukan pendamping jiwa. Murid menjadi penghafal modul, bukan penjelajah nilai. Dalam kondisi ini, pendidikan tak lagi menginspirasi.
Jika hijrah sejati adalah perjalanan menuju keutuhan diri, maka pendidikan kita harus kembali ke pertanyaan dasarnya: untuk apa kita mendidik? Apakah sekadar mencetak lulusan, atau menumbuhkan manusia yang utuh—yang berpikir, merasa, dan berbuat dengan nurani? Pendidikan bukan soal hasil, tapi proses yang penuh makna.
Kita memerlukan ruang-ruang pendidikan yang memberi tempat untuk gagal, untuk merasakan, dan untuk tumbuh. Sekolah harus menjadi taman, bukan pabrik. Guru harus menjadi penanam nilai, bukan penjaga rubrik. Murid harus diberi hak untuk mengalami hidup, bukan hanya menyelesaikan tugas.