Oleh Muliadi Saleh
Esensi Hari Bumi: Seruan Kesadaran Global
Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi sebagai momen reflektif atas relasi manusia dan planet yang menjadi rumah satu-satunya. Tahun ini, tema global “Our Power, Our Planet” menjadi seruan bagi seluruh umat manusia untuk mempercepat transisi menuju energi bersih dan memperkuat ketahanan bumi dari kerusakan ekologis.
Hari Bumi bukan hanya seremoni tahunan, melainkan panggilan nurani untuk meninjau kembali cara manusia memperlakukan alam. Ia menjadi pengingat bahwa bumi bukan milik satu generasi, tetapi warisan lintas zaman yang mesti dijaga bersama. Dalam pernyataan resminya, Kathleen Rogers, Presiden EarthDay.org, mengatakan, “Hari Bumi adalah saat bagi kita untuk mengakui ketergantungan kita pada bumi dan memperbaharui komitmen terhadap keberlanjutan planet.”
Isu Aktual: Luka yang Menganga di Tubuh Bumi
Bumi tengah terluka. Data dari Earth.org mencatat bahwa tahun 2024 menjadi tahun terpanas sepanjang sejarah. Krisis iklim, polusi plastik, deforestasi, dan kepunahan spesies menjadi kenyataan yang tak lagi bisa diabaikan.
Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), lebih dari 400 juta ton plastik diproduksi setiap tahun dan setengahnya hanya digunakan satu kali. Dari jumlah itu, hanya 9% yang berhasil didaur ulang. Lautan kini dipenuhi mikroplastik, mengancam kehidupan biota laut dan manusia.
World Economic Forum dalam Global Risks Report 2025 bahkan menempatkan degradasi lingkungan sebagai salah satu ancaman terbesar umat manusia, sejajar dengan konflik global dan krisis ekonomi. Bumi telah memasuki era Antroposen, di mana pengaruh manusia menjadi kekuatan dominan yang membentuk kondisi geologis dan ekologis bumi.
Tantangan dan Respons Manusia
Tantangan lingkungan tak hanya berasal dari alam, tetapi juga dari sikap manusia yang eksploitatif. Ketergantungan pada bahan bakar fosil, sistem produksi yang tak berkelanjutan, serta budaya konsumsi yang boros menjadi akar kerusakan.
Profesor Johan Rockström dari Potsdam Institute for Climate Impact Research memperingatkan bahwa “kita sedang menekan sistem penyangga kehidupan bumi melampaui batas-batas planet yang aman. Jika tidak segera diubah, konsekuensinya bisa sangat merusak dan permanen.”
Namun, di tengah tantangan, harapan tetap menyala. Gerakan ramah lingkungan mulai tumbuh dari komunitas-komunitas kecil hingga kebijakan global. Transisi ke energi terbarukan, pengurangan limbah plastik, serta pelestarian hutan dan laut menjadi langkah penting menuju bumi yang lebih sehat. Pemerintah Indonesia, misalnya, menargetkan Net Zero Emission pada tahun 2060 dan mempercepat pengembangan energi surya dan hidro sebagai solusi jangka panjang.
Merawat Bumi: Dari Aksi Individu hingga Kolektif
Perubahan besar selalu dimulai dari langkah kecil. Mengurangi sampah, menggunakan transportasi ramah lingkungan, hemat energi, dan mendukung produk berkelanjutan adalah contoh nyata kontribusi individu dalam menjaga bumi.
Menurut Dr. Vandana Shiva, aktivis lingkungan asal India, “Merawat bumi dimulai dari cara kita makan, bertani, dan hidup setiap hari. Ekologi bukan hanya teori, tapi tindakan cinta yang konkret kepada bumi.”
Jika dilakukan secara kolektif, dampaknya menjadi signifikan. Bumi tak hanya butuh teknologi hijau, tetapi juga budaya baru yang menempatkan alam sebagai bagian dari diri manusia. Budaya saling menghormati antara manusia dan alam, sebagaimana ditemukan dalam kearifan lokal masyarakat adat, harus menjadi pijakan dunia modern.
Sikap Generasi Muda: Penjaga Harapan Masa Depan
Generasi muda hari ini tak sekadar menjadi pewaris bumi, melainkan penjaga masa depan planet ini. Aksi seperti “Fridays for Future”, gerakan #SayNoToPlastic, hingga advokasi kebijakan hijau menunjukkan bahwa kesadaran lingkungan telah mengakar di kalangan anak muda.
Greta Thunberg, aktivis muda asal Swedia, menyuarakan: “Kita tidak butuh harapan kosong. Kita butuh keberanian. Kita butuh aksi sekarang, karena masa depan sedang terbakar.”
Di Indonesia, berbagai komunitas pemuda, seperti Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik dan Youth for Climate Movement, membuktikan bahwa generasi muda tak tinggal diam. Mereka menanam pohon, menggelar kampanye publik, hingga ikut menyusun draft kebijakan lingkungan.
Perspektif Islam: Amanah Menjaga Alam
Dalam Islam, bumi adalah amanah. Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.” (QS. Al-A’raf: 56)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia.” (QS. Ar-Rum: 41)
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Sesungguhnya dunia ini hijau dan indah, dan Allah telah menjadikan kamu sebagai khalifah di dalamnya.” (HR. Muslim)
Ajaran Islam menekankan keseimbangan (mizan), tidak berlebih-lebihan (israf), dan kesadaran bahwa segala bentuk eksploitasi yang merusak adalah bentuk pengingkaran terhadap nikmat Tuhan.
Pendapat Para Ahli: Etika dan Sains Bertemu
Dr. Steven Cohen dari Columbia University menyatakan bahwa perlindungan lingkungan adalah tanggung jawab moral yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia. Menurutnya, keberhasilan umat manusia di abad 21 sangat ditentukan oleh kemampuannya menjaga keseimbangan ekologis bumi.
Sementara itu, Prof. Emil Salim, pakar lingkungan dan mantan Menteri Lingkungan Hidup Indonesia, pernah mengatakan, “Bumi tak butuh kita, kitalah yang butuh bumi. Bila kita merusaknya, kita sedang menyiapkan kehancuran kita sendiri.”
Penutup: Merawat Bumi, Merawat Kehidupan
Hari Bumi 2025 adalah panggilan untuk merenung dan bertindak. Bumi bukan sekadar ruang hidup, ia adalah ibu yang melahirkan, memberi makan, dan menjadi tempat kembali. Jika manusia merusaknya, manusia pula yang akan menuai akibatnya.
Mari jaga bumi dengan kasih sayang, ilmu, dan iman. Karena merawat bumi, sejatinya adalah merawat kehidupan itu sendiri. Ia bukan hanya tugas ekologis, tapi juga panggilan etis dan spiritual—demi masa depan yang lestari dan penuh harapan.
* Muliadi Saleh adalah Penulis dan Pemerhati Lingkungan.Tinggal di Makassar, Sulawesi Selatan.