FTBI 2024, Catatan dari Kelas Cerita Pendek

Oleh Adi Arwan Alimin (Insight Mandarnesia)

Enam belas cerpenis muda buah Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) 2024 akan berkumpul di Makassar pekan depan. Peserta disaring dari tingkat SD dan SMP yang mengikuti dua sesi lomba sejak tanggal 3 hingga 8 November di Novotel Makassar.

Penulis telah menerima undangan untuk pendampingan cerpenis muda seantero Sulsel dan Sulbar ini. Untuk agenda selanjutnya yang bertopik Kemah Cerpen itu setiap juara satu dari masing-masing bahasa daerah diundang untuk menerima bimbingan secara langsung.

Ada Gege Mappangewa Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Pusat yang setiap hari berjibaku dengan urusan menulis, ada Saharuddin penulis Makassar, juga Elvirawati Pasila dari Banua Budaya Toding Kallang, Toraja. Serta penulis yang mewakili Insight Mandarnesia.

Dalam penjurian cerpen berbahasa daerah di FTBI 2024, juri menemukan sejumlah kendala ejaan yang dialami peserta. Menurut Gege, masalah ejaan sangat memerlukan perhatian serius dari guru atau pendamping masing-masing.

Ide berbasis lokalitas Sulawesi Barat dan Sulawesi Selatan sebenarnya sangat banyak. Tetapi sebagian peserta masih berada di zona nyaman karena diasuh teknik menulis hingga cebur dalam pola lama.

“Peserta banyak yang masih terjebak pada cerita-cerita sebelumnya, dan terkesan menghapal hingga terlihat sulit dalam pengembangan cerita pendeknya.” sebut Gege lagi saat pengumuman juara Jumat siang.

Tema debat cerpen ini memang baru ditampilkan di layar lebar saat pernyataan mulai disampaikan panitia. Jadi dijamin tidak ada kebocoran kisi-kisi kepada peserta. Penulis pun baru membaca tema lomba saat penjaringan calon juara dimulai Kamis pagi.

Plt. Kepala Balai Bahasa Sulselbar
Plt. Kepala Balai Bahasa Sulselbar

Sebagaimana halnya orang dewasa atau penulis pemula lainnya, peserta kita di FTBI ini rata-rata kesulitan memulai. Sesungguhnya hal ini amat normal, bukankah Pepih Nugraha (2024) mengatakan sejak awal bahwa yang tersulit dari menulis, yakni memulainya.

Kita juga berharap agar secara terus menerus anak-anak terus dibimbing menulis. Dalam urusan keterampilan menulis proses berulang-ulang akan sangat menentukan bagaimana level dan pengalaman anak-anak akan makin terasah.

Selain cara memulai, ejaan, mind mapping atau peta pikiran sangat dibutuhkan. Peserta lomba cerpen FTBI diberi batas minimal lima halaman dengan durasi mulai jam 08.00 hingga pukul 17.00. Apa yang terjadi?

Di bawah empat jam sudah ada peserta yang mampu mencapai 4 atau 5 halaman A4. Dengan total durasi lomba hampir delapan jam. Ini termasuk jam kudapan ya.

Menulis di bawah tekanan waktu, dan konsentrasi yang terganggu karena ruang pidato dan komedi tunggal bahasa Bugis suasananya heboh atau pecah tawa, hingga menembus tebalnya tirai tripleks yang menjadi pembatas.

Jelang salat Dzuhur ada peserta yang menjejak halaman 5. Unjuk tangan mereka seperti busur yang dilentingkan memecah konsentrasi yang lain. Tapi peserta pun kembali semangat dan fokus.

Bagaimana upaya dalam pelestarian bahasa daerah. Tanggung jawab utama bukan hanya di balai bahasa, tetapi juga ada di kabupaten yang terus berupaya melestarikan bahasa daerah.

Ini memerlukan peran dan perhatian pemerintah daerah, guru dan orangtua. Pelestarian bahasa daerah merupakan cara kita membuat perlindungan agar bahasa ibu ini terjaga.

“Dukungan orang tua dengan memberi izin saja itu adalah konstribusi yang luar biasa. Dan, proses yang maksimal di daerah akan memberi hasil yang optimal,” Dewi Pridayanti, S.Sos., M.Adm.SDA Plt. Kepala Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Selatan.

“Semoga ini menjadi ladang amal kita semua. Peserta FTBI merupakan perpanjangan tangan Balai Bahasa dalam upaya pelestarian bahasa daerah kita,” kata perempuan kelahiran 1979 ini.

Arkian, menulislah sambil anda bercerita. The way you talk, mulailah dengan teknik berkata-kata alias berbicara. Penulis terus mengulang anjuran ini ke puluhan peserta lomba.

“Baca ulang, baca ulang, baca ulang maka itu akan membantu kalian mengembangkan tulisan. Bicaralah pada layar laptop itu, jangan lupa simpan. Tulislah seperti engkau bercerita pada temanmu,” ujar penulis sesekali (*)