Filosofi Kopi: Doko Box, Rakus Itu Nggak Baik

Oleh: Adi Arwan Alimin (Penulis/Penyuka Kopi)

Perjalanan pulang selalu menawarkan keheningan yang mengentalkan renungan. Setiap jarak yang ditempuh menyimpan cerita.

Ahad malam kemarin, di tengah rintik hujan yang baru saja mereda, saya menemukan satu cerita yang tak disangka-sangka di sebuah kedai kopi “Doko Box” yang terletak di depan SPN Mekkatta, Malunda, Kabupaten Majene.

Kedai ini bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi, tetapi juga menyimpan filosofi mendalam yang mencerminkan kearifan lokal serta kritik sosial yang halus.

Waktu menunjukkan pukul 21.30 ketika saya memutuskan untuk mampir. Aspal masih basah, dan udara malam membawa aroma kopi yang meruar khas, menambah kesyahduan suasana. Jarak ke Mamuju kurang-lebih sejam.

Begitu memasuki kedai, saya disambut oleh seorang pemuda yang ternyata adalah sang pemilik kedai. Irham, seorang wartawan muda yang memutuskan untuk menjalankan bisnis kopi sebelum gempa yang melanda daerah ini.

Setiap kali melewati Malunda, nama “Doko Box” selalu melekat di pikiran, tetapi baru malam kemarin saya bisa singgah.

Sekilas, nama kedai ini terkesan asing, seolah kolaborasi dari frinchise negeri Jepang atau Korea, dengan nuansa huruf kanji yang eksotis. Namun, tebakan saya rupanya salah.

“Tidak kak, ini merek asli yang kami bangun,” kata Irham sambil tersenyum. “Sebenarnya, itu untuk menyentil situasi akhir-akhir ini, agar orang tidak bersifat rakus…” lanjutnya dengan nada yang lebih serius.

Kata ‘Doko’, memiliki makna yang mendalam dalam bahasa Mandar—ia berarti ‘rakus’. Dalam kehidupan sehari-hari, sifat rakus sering kali dianggap sebagai sesuatu yang negatif.

Sifat rakus dalam bahasa Mandar lainnya: mangoa. Bukan hanya soal keinginan untuk memiliki lebih banyak, tetapi juga meliputi sikap yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dimiliki, hingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya.