Oleh Zainal Arifin Mochtar
PILIHAN dan memilih adalah dua hal yang berkaitan. Teramat bahkan. Tak usah direpotkan soal semantik. Pasti langsung ada yang gatal dan mendebat soal itu hanya soal imbuhan dan akhiran kata. Sudahlah, enggak usah dilanjutkan. Bagi saya, maknanya jelas, pilihan dan memilih adalah proses yang melahirkan pemihakan. Nah, problemnya, kadar pilihan seringkali membuat “ketidakwarasan”. Padahal, memilih adalah tindakan “waras”. Makanya, hoax disebar, konteks ditinggalkan, analisis parsial, tanpa pemahaman utuh langsung posting, berita lama dikirim ulang dan pelbagai tindakan tidak “waras” lainnya.
Tunggu, saya yakin pelakunya langsung serta merta menolak disebut tak waras. Pasti mengatakan itu pilihan, itu bagian dari upaya penyadaran, proses pendewasaan, tawaran wacana bahkan diimbuhi konsep pendidikan. Iya deh, sampeyan juga pasti mau bilang begitu kan! Iya, memang coretan ini tidak dibuat untuk anda yang tak mau mengakui secara jujur, kok.
Begini saja, bayangan saya makhluk memilih di Republik ini saat ini ada empat.
Pertama, benar-benar makhluk tim sukses. Ada yang tercatat sebagai pengurus, resmi, dan berkop surat jelas. Tapi ada juga “tim bayangan”. Pasti pahamlah, soal “panggung depan” dan “panggung belakang”. Soal “penyadaran” publik tanpa terlihat atau malah supaya samar tak terdeteksi. Apa pun itu, pesan saya kepada makhluk ini cuma satu. Tolong jangan dibuang nalarnya! Tetap dipakai. Apalagi yang katanya sekolah tinggi. Satu hal tak mungkin bisa simpulkan semua hal. Karena satu hal tolol, tidak menjadikan yang lain pasti juga bodoh. Konteks utuh adalah utuh, jangan dipenggal. Lihatlah menyeluruh, itulah gunanya sekolah, melihat praktik dan teori secara baik dengan konsepsi dan konteks yang ada.
Jangan hukumi secara tak berimbang. Kalau yang satu dibilang pencitraan, yang lainnya dibilang kewajaran. Kalau yang satu disebut kelemahan, yang satunya dianggap sebagai keadaan alami manusia yang tak bisa semua hal. Bahkan berbagai hal lucu lainnya. Ingat saja satu hal, tim sukses ini hanya akan berlangsung sesaat. Sedangkan Republik ini akan berjalan lebih lama daripada ketimsuksesan anda. Bahkan lebih langgeng ketika pun anda sukses sebagai tim sukses.
Kedua, makhluk simpatisan. Dia simpatik kepada salah satu pilihannya. Tapi tidak tercatat sebagai salah satu tim sukses mana pun. Orang ini biasanya sudah berketetapan hati. Kalau tak ada aral melintang kuat, hampir pasti ia akan labuhkan pilihannya. Ia sudah “beriman”. Berkhotbah apa pun di hadapannya enggak akan memindahkan “imannya”. Khotbah yang berkesesuaian dengan “imannya” akan memperteguh saja kadar keimanannya.
Sepengetahuan saya, keimanan ini hanya akan luntur tatkala ada kejadian amat dahsyat yang mengubah konstelasi. Saran saya kepada mahkluk ini, hampir mirip dengan yang di atas. Kalau anda tak kena lagi dengan khotbah apa pun, tak usah memaksakan berkhotbah kepanjangan kepada yang lain dan sudah beriman pula. Apalagi dengan berbagai hal lain yang mirip dengan perilaku tim sukses.
Ketiga, pemilih rasional yang menunggu untuk menjatuhkan pilihan dengan berbagai pertimbangan dan preferensi atas pilihannya. Orang inilah yang menjadi rebutan tim sukses dan para simpatisan. Kepada mereka, tawarkan hal yang bermutu. Analisis yang mendalam. Bukan asal comot tanpa konteks dan bukan pula hal-hal yang tak berimbang lainnya. Alih-alih dia akan rasional melihat anda, bisa jadi dalam hatinya hanya akan mengatakan, “kayaknya ada tim sukses dadakan nih”. Atau malah, “kok jadi kayak simpatisan ya?”
Berharap simpati, yang anda dapatkan antipati. Makanya, dekati dengan kadar yang pas. Bicarakan program, katakan dengan konsep, analisis model, dan berbagai hal menarik lainnya. Berdebatlah dengan kepala tegak dan dingin, tapi tetap berisi. Bukan yang penting hajar tanpa peduli dan paham keseluruhan. Istilah seorang kawan, “malu tak gentar”. Pemilih rasional ini menentukan, kapan ia akan berpihak dan memilih salah satu calon, atau bahkan di ujungnya akan mengatakan tidak kepada semua kandidat.
Terakhir makhluk yang tak peduli dengan para kandidat. Tipe Keempat ini sama sekali enggak peduli dengan jargon para kandidat yang telah dijual selama ini. Mau ada pemilu atau tidak mereka enggak peduli. Yang paling berbahaya adalah ketika dia putuskan untuk menjual saja pilihannya. Siapa yang bawa uang atau barang dan janji apa pun, akan ia pilih. Bayangan saya, ini akan menjadi santapan empuk tim sukses, yang segera mengonversi jenis ini menjadi mata uang. Eh, bahkan boleh jadi, uangnya juga disunat oleh tim sukses, baik yang tercatat maupun yang “bayangan”.
Tapi itu kan soal pilihan. Apakah cuma empat? Enggaklah, anda boleh membuat kategori masing-masing untuk menarik batas. Termasuk untuk mengingkari bahwa anda tidak masuk di antara keempat makhluk itu juga boleh kok.
Bagaimana cara memilih? Di tulisan selanjutnya ya.
*Zainal Arifin Mochtar adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi UGM
Foto: Twiter Zainal A. Mochtar (@zainalamochtar) | Twitter