Memahami begitu luasnya cakupan kebudayaan ini, maka korelasinya pada kegiatan Mandar Public Art melalui komponen kesenian serta eksistensi ruang publik kita, yang banyak tersebar di kota – kota setiap kabupaten, kecamatan serta desa-desa di Sulawesi Barat. Termasuk di area pinggir pantai, tengah kota, dan ruang-ruang di desa,
Keberadaan potensi Ruang Publik, baik yang sudah dari awal direncanakan, maupun yang semula belum terjamah, dimana sekitarnya mempunyai ikon bangunan atau obyek yang dapat menarik berbagai lapisan masyarakat, tentu akan menjadi komponen penting baik dalam konteks perkembangan perkotaan dan desa, karena berfungsi sebagai arena bagi interaksi dan sosialisasi antar warga.
Ruang-ruang publik yang sudah ada misalnya area pinggir jalan yang ada trotoar serta terkoneksi dengan ruang kosong yang belum terkelola, pantai dan Kota Pasangkayu, Mamuju tengah, Pantai Manakarra, Taman Karema Mamuju, taman kota, stadion, Pantai Dato dan ruang publik lainnya di Majene, Alun-alun Kota Polewali, taman budaya, hutan bambu, potensi ruang publik lainnya di kota kecamatan Tinambung ini, serta ruang publik hijau yang indah dan asri di Mamasa. Yang secara keseluruhan daya dan potensinya dapat diberdayakan sesuai karakter ruang yang ada.
Dalam tata kelolanya, ruang publik tersebut sudah seyogyanya tidak pasif, dan dapat bersifat lebih responsif, yang menampung banyak kegiatan dan kepentingan yang beragam. Terutama pemanfaatan pada kegiatan kebudayaan.
Rancangan kegiatan seni di ruang publik ini, tentu akan menjadi aktivitas budaya yang melibatkan interaksi berbagai komunitas dan kelompok secara massif, berpotensi jadi ruang silaturahim masyarakat, menciptakan pengalaman bersama dan membangun jaringan antara seniman, pengunjung, pelaku ekonomi kreatif dan komunitas.
Selain itu, tentu berhubungan pula ke ranah citra tata kota, kualitas lingkungan serta partisipasi masyarakat yang sekaligus memberikan nilai tambah bagi pengembangan ekosistem pariwisata budaya.
Untuk itulah, gagasan Mandar Public Art ini lahir dengan merespon ruang publik di Taman Budaya Sulawesi Barat, melalui Kementrian Kebudayaan – Dana Abadi Kebudayaan lewat Program Layanan Produksi Kegiatan Kebudayaan pada Kategori Pendayagunaan Ruang Publik, guna mendukung dan mendorong penguatan ekosistem dalam pemajuan kebudayaan.
Dari sekian program kegiatan MPA yang akan merajut interaksi mempunyai harapan dari tujuannya untuk: Menciptakan ruang interaksi budaya yang inklusif, mendorong lahirnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam mewujudkan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang memiliki nilai kreativitas, inovasi, pewarisan nilai budaya, pelestarian kearifan lokal, serta pengembangan karya-karya baru, dan mendayagunakan ruang publik untuk memperluas dan menjamin pemerataan akses masyarakat terhadap kegiatan kebudayaan di daerah kita.
Kegiatan Mandar Public Art yang dilaksanakan 3-7 Mei 2025, dengan mengangkat tema INTERAKSI. Yakni di dalamnya terpaut aksi kreatif, hubungan sosial, pertukaran informasi, apresiasi, melalui berbagai rancangan program kegiatan MPA, berupa Gelar Instalasi (seni rupa kontemporer), BazArt (pelaku kreatif UMKM), Video Mapping (seni media baru), Forum Publik (diskusi), Workshop Peningkatan Kapasitas Administrasi dan Publikasi, dan Panggung Budaya (pertunjukan Tradisional dan Kontemporer).
Pada arena pertunjukan MPA, instalasi panggung budaya yang berdiri kokoh serta monumental, terinspirasi dari bentuk alat tangkap ikan tradisional di Mandar yang bernama BUARO.
(dikenal dan dipakai pula di daerah lainnya di Indonesia, dengan fungsi yang sama meski bentuk kontruksi ada yang beda, serta penyebutan yang berbeda).
Buaro sebagai suatu produk kebudayaan yang dibuat oleh manusia, tentu masuk dalam kategori unsur kebudayaan teknologi dan pengetahuan tradisional.
Dari Buaro, sebagai teknologi dan pengetahuan tradisonal, kita dapat menangkap pesan dan nilai-nilai yg begitu bermakna:
terkait hubungan manusia dengan alam dan sumber daya.
Buaro dapat melambangkan kesabaran, ketahanan, dan pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan.
Juga dapat diartikan sebagai simbol kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan memanfaatkan potensi alam secara bijaksana.
Dalam operasinya Ia tidak merusak ekosistem. Ini menggambarkan kearifan budaya dalam menjaga keseimbangan alam, sikap hidup yang selaras dengan lingkungan. Yang tentu berbeda dengan alat modern yang begitu eksploitatif.
Sehingga Buaro merupakan representasi cara hidup yang mencerminkan ketidakserakahan manusia. Ia mengambil secukupnya.
Dimana melalui nilai tersebut, dapat pula kita patrikan dalam kehidupan keseharian, termasuk dalam kehidupan kreatif berkesenian kita, baik dalam hal kepekaan adaptasi terhadap sesuatu, kesabaran dan ketahanan serta pemanfataan SDM yang mumpuni dan mandiri dalam berkarya.