Kita bisa melihat, misalnya: tenun ikat sekomandi (salah satu tenun ikat tertua di Indonesia), sarung sutra, tenunan khas sambu yang masing-masing bertahan diakar budayanya baik di Kalumpang-Mamuju, Polewali Mandar – Majene dan Mamasa, dimana objek eksplorasinya tidak hanya berdaya dalam satu unsur, katakanlah sebagai teknologi tradisional (alat perangkat tenunan), juga sekalian tembus menembus keranah adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional dan tentu sebagai unsur seni (pola, warna dan motif).
Ekplorasi unsur-unsur pada satu obyek dalam karya tenun saja, sudah nampak memperlihatkan keterjalinan yang saling menunjang, belum lagi misalnya pada tradisi perayaan maulid yang di dalamnya turut melestarikan sayyang pattu’du’ dan parrabana, dimana terdapat seni musik, kalinda’da’ sebagai tradisi lisan, dll.
Hal ini yang membuat saya semakin kaya dan gemar dalam kebudayaan, tidak sekedar menemukan hobby. Tapi larut seperti gula dan kopi. Budayawan bangat.
Kembali sedikti ke produk tenun tadi. Dalam hal ini, lumayan kita bisa berbangga melihat semangat upaya pengembangan produk tenun kita di Sulawesi Barat. Lewat sejumlah pelaku kreatif UMKM baik itu tenun sekomandi, sambu dan tenun sutra. Baik yang sudah diasuh oleh Bank Indonesia, maupun yang masih diasuh oleh idealisme pantang mundur.
Proyeksinya bahwa, untuk menjadikan dan lebih memastikan budaya karya tenun kita hadir terus dan semakin berkembang, mesti meninjau juga dari sisi hubungan kerja antara pengrajin dan penyelenggara pasar, diplomasi promosi dari daerah ke luar daerah, brand, kemasan, seni serta pengetahuan tradisional yang terkandung sebagai literasi penguat produk. Ini berarti, begitu dibutuhkan kolaborasi yang serius pula pada tiap-tiap sektoral OPD yang ada, baik perindustrian, pariwisata, pendidikan, kebudayaan dan lain sebagainya. Iya kan?, Tidak mesti sepakat…! Walau tetap penting membutuhkan Undang Undang Pemajuan Kebudayaan daerah yang sebentar lagi insya Allah terbit. Alhamdulillah.
Dan ini sudah lebih serius lagi…! Sebab Undang Undang tersebut hadir, tentu tidak hanya sekedar sebagai lalulintas, yang melahirkan tanda dan penjagaan otomatis dalam mengurai kemacetan kebudayaan kita.
Apalagi kebudayaan itu terus mengalami pergerakan yang dinamis. Kita memapahnya dari sekian identitas yang sudah melekat (atau kita lekatkan), oleh berbagai pengaruh, penyatuan, penyesuain dan kolaborasi dari kebudayaan-kebudayaan lainnya yang sedang berkembang. Baik dari Arab, China, Makassar, Bugis bahkan Eropa. Ini belum finis dan belum selesai. Seperti pada judul buku kumpulan esay kebudaayaan sobat saya Muhammad Syariat Tajuddin “Mandar Belum Selesai”. (secara kebudayaan tentunya).
Saking kompleksnya hubungan masyarakat dalam berbudaya, menandakan semakin pentingnya penegasan pendekatan berbasis tatanan kesatuan, ekosistem dan komunitas suatu tata interaksi yang saling menunjang satu sama lainnya. Ada satu unsur yang berubah atau punah, dampaknya akan dirasakan seluruh ekosistem. Meskipun kadang kita tidak merasakannya, yang penting tancap gas terus.
Selama ini, sudah sekian lama kita menyadari bahwa begitu berlimpah kekayaan kesenian yang unik dan beragam di daerah kita, mencakup berbagai bentuk seni tradisional dan modern, baik berupa tari, musik, sastra, teater hingga keranah kerajinan tangan. Mulai dari Tari Sayo di Kalumpang-Mamuju, tari bulu londong, malluya dll di Mamasa, tu’du’ kumba, sarawadang, losa losa dll, dan tuqduq tommuane (cakkuriri) di Polman dan Majene serta berbagai tarian di kabupaten lainnya yang ada di Sulawesi Barat.
Begitu pun dengan musik tradisi kita, passayang-sayang, pakkacaping, orkes todiolo, suling pompang, dan sederet musik tradisional lainnya, serta kekaryaan musik kontemporer yang berkeliaran di media social dari hasil kegiatan pertunjukan grup atau komunitas, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat maupun dari hasil pertunjukan mandiri serta eksplorasi – eksperimen di markas budayanya masing-masing.
Demikian juga di ranah sastra baik berupa kalinda’da’, petuah-petuah dll, serta karya-karya sastra modern termasuk puisi, cerpen, cerita rakyat, komik, esai dan novel, baik yang sudah terbukukan maupun yang belum terbukukan. Juga pada Teater rakyat, seperti koa koayang dan lainnya, serta bejibun lakon karya pada teater modern yang sudah banyak berlalu dihadapan apresiasi kita.
Terlebih pada surplus atau suburnya grup, sanggar dan komunitas seni kita di Sulawesi Barat, mulai dari yang memberikan nama komunitasnya berupa unsur tanah, akar, pepohonan, transportasi, religi, udara dan sampai ke langit. Nyaris sama dengan isra mir’raj.
Sehingga kita bisa diajak berpikir bahwa, andai kini ada lumbung pengarsipan tersendiri sebagai data base yang lengkap menyimpan mulai dari biodata seniman, komunitas, portofolio, dan hasil karya-karya modern tersebut, tentu akan menjadi destinasi pendidikan & wisata khusus bagi kita dan generasi serta masyarakat pendukung kebudayaannya.
Demikian juga sama halnya pada pelaku dan karya-karya tradisional, yang selama ini (katakanlah telah menjadi identitas daerah kita), agar dengan gampang memilah serta mengidentifikasi antara otentik tradisonal dan karya pembaharuan atau kontemporer.