Masjid-masjid di Amerika semakin memberi kesempatan kepada anak-anak muda untuk tampil menjadi imam, bagian dari program regenerasi imam dan mendapatkan imam dari komunitas setempat, supaya masjid tidak lagi harus ‘mengimpor’ imam dari luar AS. Program itu dimungkinkan dengan semakin berkembangnya sekolah-sekolah untuk menghafal Alquran, atau yang dikenal dengan hifz school.
Dua dari anak-anak muda yang selama bertahun-tahun ini diberi kesempatan itu adalah Ifdal Yusuf dan Muhamad Abdul-Hafiz Zakaria, dua diaspora Indonesia. Ifdal, kelahiran Jakarta yang hari ini berusia 23 tahun, tinggal di kota Dallas, Texas. Dan Muhamad, yang Maret lalu berusia 17 tahun, tinggal di kota College Park, Maryland.Ifdal menjadi imam tarawih di Masjid Imaam Center, Silver Spring, Maryland, sementara Muhammad menjadi imam tarawih di Masjid Darussalaam di College Park, Maryland.
Proses menjadi imam dimulai dengan menugaskan murid-murid sekolah hifz, yang sudah hafal quran, memimpin sholat. Seiring waktu, ketika hapalan mereka semakin baik dan pengalaman menjadi imam semakin banyak, mereka dipercaya menjadi imam tarawih.
Bagi Ifdal, yang sejak usia 12 sudah hafal quran, sudah 9 tahun ini ia menjadi imam.
Sementara Muhamad, yang hafal quran sejak usia 11, sudah mulai menjadi imam tarawih sejak lima tahun yang lalu.
Ifdal dan Muhamad yang sama-sama sejak kecil belajar mengaji, mengakui tidak mudah menghafal Quran. Ifdal malah sempat ingin menyerah.
“Tahun pertama itu, susah, kan dari sekolah umum masuk sekolah hifz. Fokusnya susah. Bosan. Sehari delapan jam, (belajar) Quran. Pulang, Quran lagi,” papar Ifdal.
Selepas SMA, Ifdal belajar Bahasa Arab, Fiqh, dan Tafsir di Bayyinah Institute di Dallas, Texas. Ilmu yang didapatnya memperkuat niatnya mempelajari Quran, sementara undangan menjadi imam terus mengalir.
Muhamad sejak kecil diarahkan orangtua untuk menghafal Quran. Setelah sempat masuk hifz school, sambil menjadi imam, ia kini melanjutkan sekolah untuk menyelesaikan SMA. Tetapi bukan berarti selesai interaksi dengan Alquran.
Berdasar pengalaman, kata Muhamad, untuk menghafal Alquran, kita harus meluangkan waktu untuk membaca, mengkaji, dan memahami makna ayat-ayat Alquran tersebut.
Di sela rutinitas menjadi imam, mengajar mengaji dan menjaga hafalan Quran, Ifdal mengejar ilmu psikologi klinis di University of Texas at Arlington, Muhamad mengincar jurusan mechanical engineering, University of Maryland.
Keduanya bertekad mengantongi sarjana di Amerika sebelum melanjutkan pendidikan ke-Islaman di Mekkah atau Madinah. Setelah itu, barulah akan berpikir menjadi imam.
Jadi, “Ifdal bukan (belum jadi) imam sekarang. Tetapi ingin jadi imam,” katanya merendah.
Dengan rutinitas yang padat, kedua imam mengaku tetap punya waktu bersenang-senang, dan tetap ingin menjadi anak muda yang cool.
Ifdal mengisi Sabtu atau libur kuliah dengan jalan-jalan bersama keluarga atau teman, makan-makan atau menonton di bioskop. Ia mengikuti Game of Throne, dan film terakhir yang ditontonnya, “Avenger Endgame.”
Muhamad rutin seminggu dua atau tiga kali menekuni hobi bela diri tradisional. Ia juga berkumpul dan ngobrol dengan teman-temannya.
Namun, keduanya menolak musik. Muhamad mengatakan, “Ini (musik) akan mengalihkan perhatian dari (hafalan) Quran saya).”
Baik Ifdal maupun Muhamad memahami tuntutan imam. Karenanya, Ifdal berharap psikologi kelak membantunya sebagai imam. Muhamad ingin menjadi imam yang menguasai Alquran dan juga ilmu-ilmulainnya.
Harapan Muslim besar terhadap imam muda yang lahir atau besar di Amerika mengingat negara ini kekurangan pasokan imam, dan ‘mengimpor’ imam belakangan kerap terbentur soal pengurusan visa (izin tinggal di AS).
Ifdal dan Muhamad diharapkan bisa menjadi imam sekaligus pembimbing agama, yang menguasai masalah khas Amerika dan menjawab dalam bahasa Inggris yang baik, sesuatu yang sangat dibutuhkan seiring makin berkembangnya jumlah Muslim dan masjid di negara ini. [ka]
Ketpot : Suasana ibadah Ramadan di masjid IMAAM Center, Silver Spring, di luar Washington DC.
Sumber : VOA Indonesia