Oleh: Muliadi Saleh*
TAHUN 2025 berjalan seperti musim yang tak menentu. Teknologi melaju, ekonomi berliku, dan relasi manusia diuji dalam tiap ruang keluarga. Di balik dinding rumah yang tampak kokoh, seringkali tersembunyi kegelisahan: anak yang lebih akrab dengan layar gawai dibanding pelukan orang tua, ayah yang terjerat tuntutan nafkah tanpa sempat menyapa hangat, ibu yang lelah dalam sunyi.
Indonesia tengah menghadapi krisis yang tak kasat mata: krisis ketahanan keluarga.
Data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menunjukkan bahwa hanya sekitar 48% keluarga Indonesia yang dikategorikan tangguh secara sosial-psikologis dan ekonomi. Sementara itu, tren perceraian terus naik: di Yogyakarta saja, tercatat lebih dari 3.000 kasus perceraian setiap tahun. Di sisi lain, penyalahgunaan media digital telah menjadi ancaman baru bagi kedekatan emosional anak dan orang tua.
Ketahanan keluarga adalah tentang bagaimana keluarga bisa menjadi ruang aman, penuh kasih, dan mendidik. Keluarga semestinya menjadi tempat anak-anak merasa diterima, dicintai, dan dimanusiakan.
Sayangnya, banyak anak tumbuh dalam rumah yang sunyi dari cinta. Di dalamnya, setiap makian meninggalkan retakan batin yang sulit pulih. Setiap bentakan menghapus serpih kepercayaan diri. Anak-anak menjadi tangguh bukan karena pelukan, tetapi karena terbiasa bertahan. Padahal mereka butuh lebih banyak kata maaf ketimbang ancaman, lebih banyak pelukan daripada penghakiman.
Nabi Muhammad SAW, sang teladan agung, bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
(HR. Tirmidzi)
Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(QS. At-Tahrim: 6)
Ayat dan hadist ini bukan sekadar untaian nasihat, tapi fondasi peradaban yang meletakkan keluarga sebagai pusat perbaikan masyarakat. Sebab, dari keluarga yang kuat, lahirlah generasi yang tangguh. Dan dari keluarga yang remuk, lahirlah bangsa yang “mengamuk’.
Tahun 2025 adalah tahun ujian, tapi juga momentum. Di tengah derasnya arus digital, perlu upaya kolektif untuk mengembalikan keluarga sebagai ruang suci pendidikan batin dan moral, mengembalikan bahwa “rumahku adalah surgaku”, baiti janati.
Langkah-langkah sederhana namun revolusioner dapat diambil:
• Mulai dari mendengar. Dengarkan anak bukan untuk membalas, tapi untuk memahami.
• Kurangi gawai, tambah waktu bersama. Makan malam bersama tanpa gawai adalah revolusi kecil yang penuh makna.
• Ajarkan cinta, bukan cemas. Anak tidak butuh orang tua sempurna, mereka butuh orang tua yang hadir sepenuh hati.
• Perkuat spiritualitas keluarga. Beribadah bersama, mengaji bersama, bukan hanya mengisi waktu, tapi mengikat hati.
Deputi Kementerian PMK RI menegaskan pentingnya peran negara dalam perlindungan keluarga, terutama dari ancaman digital seperti pornografi, perundungan daring, hingga kekerasan siber terhadap anak. Tapi peran utama tetap ada pada keluarga.
Ketahanan keluarga bukan sekadar jargon pemerintah. Ia adalah benteng peradaban. Ketika keluarga gagal menjadi tempat yang aman dan bermakna, maka sekolah, negara, bahkan dunia pun akan kesulitan membangun generasi unggul.
Dan pada akhirnya, kita harus menyadari:
tak ada pembangunan bangsa tanpa pembangunan keluarga.
Tak ada masa depan Indonesia tanpa pelukan hangat seorang ayah,
tanpa doa lembut seorang ibu,
dan tanpa ruang aman bagi anak-anak untuk menjadi manusia. Wallahu A’lamu Bissawaab.
-Moel’S@13052025-
*)Penulis: Pemerhati Sosial