Oleh: Adi Arwan Alimin
Siang ini saya tidak melihat antrean panjang di lapak Roti O. Biasanya penumpang maskapai berbagai tujuan mesti bersabar menanti barisan maju satu per satu.
“Hari ini kami tidak menjual roti pak. Semua produksi akan dikirim untuk korban gempa di Palu,” ramah penjaga stan yang berada depan gate 3 Sulhas itu.
Begitu memasuki lounge Garuda, sebuah template juga dipasang untuk siapapun yang ingin berdonasi ke Sulawesi Tengah. Saya terkesiap haru. Bencana telah menyatukan banyak kalangan dan orang-orang. Di tengah terbelahnya banyak hal akhir-akhir di berbagai sisi sosial dan tema kehidupan kita sebagai bangsa.
Goncangan gempa yang menghantam Palu, Donggala juga Sigi, telah mengguncang makna cinta dan sudut kemanusian kita. Kini semua orang menggerakkan sumber daya yang dimiliki. Konvoi bantuan hilir-mudik melintasi trans barat Sulawesi. Dari yang paling berada hingga hidup sederhana semua mengulurkan tangan. Air mata kita menderas melihat semua sudut yang porak-poranda.
Proses evakuasi yang masih berlangsung telah mendidihkan hati. Kita amat tahu bahwa setelah evakuasi pascagempa ini, akan dilakukan rekonstruksi dan pemulihan kondisi di sana. Kota Palu yang eksotis itu dan Donggala yang berada di ujung tanjung menuju Teluk Palu, kini berubah wajah. Dalam citra satelit rupa bumi menampilkan perubahan berarti.
Dalam kearifan lokal masyarakat Sulawesi Tengah sesungguhnya telah dikenal istilah Bombatalu, atau pukulan gelombang laut tiga kali. Di Mandar, Sulawesi Barat istilah ini pun ada, Lembongtallu. Bahkan menurut Ahmad Arif, Catatan Iptek (Kompas, 3/10), rekaman sejarah menunjukkan Kota Palu berulang dilanda gempa bumi dan tsunami.
Teluk Palu dan pesisir barat Sulawesi pernah dilanda tsunami 18 kali sejak tahun 1800 (Gegar Prasetya, idem). Tsunami yang berulang ini telah ada dalam ingatan Orang Palu, fenomena likuifaksi atau pergeseran tanah yang menyebabkan ratusan rumah ditelah lumpur itu disebut sebagai Nalodo.
Survei Kompas tahun 2011 menunjukkan 63 persen responden di Palu tidak tahu daerah mereka rawan bencana. Ini seolah segaris dengan pemahaman pada warisan leluhur yang kurang dipahami. Nama Kota Palu berasal dari kata Topalu’e, atau tanah yang terangkat.
Perhatian pada resiko bencana alam memang masih minim di masyarakat. Di kota Mamuju sendiri saya (maaf) bahkan belum menemukan zona atau titik kumpul warga kota jika sewaktu-waktu bencana mengadang. Jumat malam lalu, saya termasuk warga yang mencari ketinggian untuk mengantar anak-anak di rumah mengungsi.
Awalnya saya hanya berdiri dengan beberapa tetangga, memperhatikan goyangan kabel listrik yang melintang nyaris saling menyentuh di atap rumah. Namun kepanikan warga dari arah Pasar Baru memaksa kami ikut bergerak. Meski tak panik. Namun rombongan motor, dan mobil yang digeber bakda maghrib disertai peringatan.
“Air laut sudah surut pak,” teriak beberapa orang sambil menunjuk ke arah laut. Jarak bibir pantai dari rumah tidak sampai 1000 meter.
Saya lalu meminta Amat, tetangga rumah, untuk mengecek kebenaran itu. Tapi warga makin banyak bergegas. Dengan sepeda motor sambil berlima kami lalu menuju halaman kantor KPU Provinsi relatif lebih jangkung dibanding dataran lainnya. Rupanya warga telah menyemut di sana. Saya membuka gerbang berpagar besi yang awal malam itu sudah ditutup staf keamanan agar warga dapat berkumpul di halaman parkir.
***
Siang ini saya menyimak film dalam penerbangan dari Jakarta. “The Hurrincane Heist”, kisah tentang penjarahan gudang milik Departemen Keuangan Amerika Serikat di tengah topan Andrew di Alabama tahun 1992. Disela bencana mengerikan sekalipun ternyata para penjarah tak pernah kehilangan akal. Uang senilai $600 juta yang akan dimusnakhkan pemerintah rupanya menggoda beberapa orang.
Ingatan saya lalu membayangkan kabar yang dimuat di beberapa media online seperti Kompas.com dan Viva.id. Bahwa dalam situasi yang hampir sama, di sejumlah titik di Kota Palu dan ruas jalan di Donggala telah terjadi penjarahan.
Saya belum melihat kausalitas antara 1.000 lebih warga binaan yang lepas dari Lapas di beberapa penjara dengan aksi itu. Namun 40-an oknum residivis telah diamankan aparat Polda Sulteng. Jika mereka hanya mengambil mi instan, air mineral, susu, beras di gudang atau di toko, kita mungkin memakluminya.
Tetapi kalau yang terlihat digotong televisi layar lebar, mempreteli mobil di show room, membopong generator, mengais mesin ATM bahkan mengambil sepeda motor korban bencana, kita patut geram.
Bila saja abai pada kearifan lokal mengenai sejarah bencana alam, mungkin karena literasi kita pada bencana yang minim. Tetapi menjarah atau mencuri milik orang lain dalam kedukaan yang merundung. Perasaan kita jelas meradang. Ini jelas bukan tabiat kita.
Sebab masih lebih banyak korban bencana atau warga di Palu dan Donggala yang memegang martabatnya, tak ingin menyentuh dan memunguti barang orang lain bila bukan miliknya.
GA660, Makassar-Mamuju
FB : Adi Arwan Alimin Mandar