[perfectpullquote align=”left” bordertop=”false” cite=”” link=”” color=”” class=”” size=””]Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya.
– R. A. Kartini[/perfectpullquote]
Yogyakarta, Mandarnesia.com– Peranan perempuan dalam kancah organisasi dewasa ini sudah tidak lagi menjadi fenomena yang asing. Keterlibatannya dalam berbagai forum formal maupun nonformal adalah pemandangan yang sudah lumrah terjadi. Namun, tidak dapat kita pungkiri bahwa disamping itu masih sangat banyak dari pihak-pihak atau anggota mayarakat yang masih mempermasalahkan hal tersebut. Itu terjadi karena masih meluasnya pandangan bahwa perempuan itu hanya bisa di sumur, di dapur dan di kasur.
Berbicara mengenai keterlibatan perempuan dalam suatu organiasi, membuat kita harus menilik kebelakang dan melihat bagaimana sejarah mencatat awal mula perempuan terjun di dunia tersebut.
Di Indonesia misalnya, perempuan telah terlibat dalam organisasi sejak tahun 1904. Di mana saat itu Dewi Sartika maju sebagai pelopor perempuan yang mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan di Bandung. Keterlibatan Dewi Sartika mendirikan sekolah tersebut, merupakan cerminan bahwa perempuan telah mampu mengorganisir, sehingga sekolah tersebut dapat berdiri. Selain itu organisasi yang bersifat formal juga muncul pada tahun 1912 yang bernama Putri Medikal di Jakarta. Organisasi ini berdiri untuk memperjuangkan pendidikan bagi perempuan, mendorong perempuan agar tampil di depan umum, membuang rasa takut, dan mengangkat perempuan ke kedudukan yang sama seperti laki-laki (Wieringa, 1999).
Pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hak yang sama, termasuk dalam mengambil kedudukannya sebagai penggagas, ketua, bendahara, maupun sekretaris organisasi. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Hj. A. Nursami. M.SE, M.Adm.Kp, ketika ditemui dalam acara pelantikan Ikatan Pelajar Mahasiwa Polewali Mandar Yogyakarta (IPMPY) di Den Nany Resto pada Kamis (25/10/2018).
Ia juga menambahkan, peranan perempuan dalam suatu organisasi itu sangat berguna untuk menyuarakan suara-suara perempuan yang bisa jadi selama ini tidak dilirik oleh kaum adam. Ia yakin bahwa perempuan dan laki-laki dapat berjalan bersama untuk memajukan organisasi, Kabupaten dan Negara pada umumnya.
Sementara itu, A. Dwiki Nursada Masdar, Ketua demisioner IPMPY juga menegaskan, bahwa perempuan itu harus maju, cerdas dan harus progresif dengan tidak melulu berada di belakang publik, tetapi juga dapat tampil dan berkarya.
“Sebagai seorang perempuan, harus cerdas dalam mengambil tindakan dan sigap dalam keputusan” tegasnya, ketika diwawancarai via WhatsApp
Sementara itu Ketua Ikatan Keluarga Mahasiswa Sulawesi Barat (IKMSB) Malang, A. Ilham Rusali juga ikut berkomentar, bahwa dengan tidak membatasi perempuan untuk maju sebagai pemimpin adalah bentuk aktualisasi pemberian hak bagi perempuan sebagaimana mestinya.
“Ini bagus sekali ini, berarti IPMPY sebelumnya itu berhasil mendidik seluruh kadernya akhirnya sampai dapat menyeimbangkan antara laki dan perempuan, mengingat sejauh ini kan laki-laki dianggap sebagai pemimpin. Artinya kepengurusan IPMPY yang kemarin itu berhasil menyetarakan gender antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki dan perempuan memiliki kesempatan, wadah, dan peran yang sama dalam IPMPY,” katanya lagi.
Di samping komentar tersebut, di masyarakat tak sedikit pula yang merasa resah akan majunya perempuan sebagai pemimpin dalam suatu organisasi atau lembaga, karena menganggap bahwa perempuan yang memiliki sifat feminin, selalu mengandalkan perasaan dalam menentukan kebijakan. Hal ini seperti yang tertulis dalam buku “The Managerial Woman” karya Henning dan Jardim, yang mengatakan bahwa kebanyakan wanita melihat dirinya sebagai seorang yang ragu, bimbang, bingung akan tujuan-tujuan mereka dalam hidup, dan menunggu dipilih atau disadari keberadaannya oleh pria.
Menanggapi hal tersebut, Ainun Zakinah Mansur, selaku Ketua IPMPY 2018-2019, mengatakan bahwa tidak selamanya perempuan harus berada dalam sifat femininnya, maskulinitas juga dibutuhkan dalam keadaan tertentu. Seperti dalam mengambil keputusan dan tindakan. Sehingga tidak ada alasan untuk membatasi perempuan untuk ikut andil dalam hal kepemimpinan.
Selain itu, ia juga mengaku bahwa keberaniannya maju sebagai pemimpin tidak lain untuk menunjukkan kepada publik bahwa perempuan juga bisa. Ia ingin menegaskan kepada seluruh perempuan bahwa sudah saatnya perempuan keluar dari pikiran-pikiran yang mengatakan bahwa perempuan itu harus selalu berada di belakang laki-laki. Sebab perempuan dan laki-laki itu memiliki potensi masing-masing.
“Dengan terpilihnya saya sebagai ketua IPMPY, saya ingin menjadi Ibu tempat berkeluh kesah bagi anggota-anggota saya, dengan menganalogikan IPMPY ini sebagai rumah tangga dan tempat ternyaman untuk kembali,” imbuh Ainun.
Kontributor: Divisi Media IPMPY