Oleh: Ilham Sopu
DALAM dunia dakwah setidaknya ada tiga hal yang sangat penting untuk menjadi pembahasan yaitu subyek dakwah atau Da’i, materi dakwah dan obyek dakwah. Ketiganya ini tidak bisa dipisahkan, seorang da’i haruslah punya materi dakwah yang dia akan sampaikan, biasanya materi itu berkaitan dengan Qur’an, Hadis, perkataan-perkataan ulama, dan pengalaman-pengalaman kemasyarakatan oleh seorang Da’i. Dan sasaran dakwah atau obyek dakwah adalah masyarakat secara umum. Seorang da’i haruslah menguasai materi yang dia akan sampaikan, begitupun harus faham masyarakat yang akan menerima materi dakwah. Disinilah pentingnya psikologi dakwah yang harus difahami oleh seorang da’i.
Ketiga term ini yaitu subyek dakwah, materi dakwah dan obyek dakwah, itu menjadi kajian dalam ilmu dakwah, mahasiswa-mahasiswa yang ada fakultas dakwah sangat memahami terma tersebut. Dalam metode dakwah ketiga terma dibahas secara mendetail, bahwa metode dalam berdakwah tetap mengacu kepada ayat Alquran, yaitu “ajaklah ke jalan Tuhanmu, dengan hikmah, nasehat yang baik, dan beragumentasilah dengan cara yang terbaik”(Al Nahlu 125). Seperti itulah metode berdakwah dalam pandangan Al-Qur’an.
Dalam perspektif Pambusuang sebagai suatu kampung yang banyak menghasilkan kader-kader da’i, atau kader-kader ulama yang sudah sangat terkenal sejak masa dulu. Keberadaan da’i itu lahir secara alami. Hampir tidak ada da’i yang lahir dan berkembang di Pambusuang melewati suatu pengkaderan da’i, mereka menggeluti dunia da’i secara natural. Awalnya mereka menggeluti pengajian-pengajian kitab dasar, atau cara membaca kita lewat kitab nahwu sharaf, dan kitab-kitab dasar lainnya yang kebanyakan membahas tentang fiqh dan akhlak, dan secara otomatis dilanjutkan dengan kitab-kitab yang tebal karya ulama-ulama terdahulu atau kitab-kitab klasik.
Seperti itulah para santri atau calon da’i dalam menjalani atau meniti karier dalam menuntut atau memperdalam ilmu keagamaan lewat pengajian-pengajian kitab kuning yang dipelajari lewat guru-guru atau ulama-ulama yang sudah senior yang ada di Pambusuang. Inilah pendasaran yang dilewati para calon da’i yang ada di Pambusuang, mereka pada awalnya hanya memperdalam ilmu-ilmu keagamaan, mereka tidak melalui metode atau pelatihan da’i seperti yang terjadi di kota-kota besar atau pesantren-pesantren besar yang ada di Indonesia, yang sudah tersusun kurikulumnya tentang cara-cara atau metode dalam berdakwah.
Salah satu da’i yang lahir dan tumbuh dari pengajian ala Pambusuang, dan sudah sangat matang dalam menyampaikan bahasa dakwah adalah Annangguru Munu Kamaluddin, atau dalam panggilan akrabnya Nangguru Munu. Beliau betul-betul tumbuh dari pengajian klasik ala Pambusuang, pengajian yang ditempuh oleh Annangguru Munu adalah berangkat dari pengajian dasar nahwu sharaf dibawah bimbingan KH Abdul Rahman, salah seorang Kyai yang banyak mengkader santri-santri pengaji kitab kuning di era tahun 80 an, salah satunya adalah Annangguru Munu. Setiap saya mendengar ceramah atau khotbah Annangguru Munu, sangat sering mengutip dari perkataan gurunya yaitu KH Abdul Rahman.
Penyampaian dakwah Annangguru Munu yang notabene tumbuh dan berkembang di Pambusuang, sangat banyak dipengaruhi ciri khas Pambusuang. Komunikasi dakwah atau metode dakwahnya sangat dengan kental komunikasi ala Pambusuang. Disinilah nilai plus dalam menikmati dakwah Annangguru Munu. Disamping sangat paham tentang metode dalam berdakwah mulai dari penguasaan tentang metode dakwah, seperti materi dakwah, sangat kaya dengan materi dakwah karena tumbuh dalam lingkungan pengajian klasik ala Pambusuang, materi-materi dakwahnya banyak merujuk ke kitab-kitab klasik, karena memang sangat menguasai berbagai kitab klasik seperti kitab-kitab klasik yang banyak di baca para santri di Pambusuang.
Materi-materi dakwah yang disampaikan ke obyek dakwah sangat menyentuh berbagai kelas sosial di masyarakat. Dakwahnya sangat kondisional, mulai dari masyarakat awam, masyarakat menengah, maupun masyarakat elit atau kaum intelektual, dia bisa memberikan suntikan-suntikan yang menyejukkan dan biasanya sangat menggelitik dengan komunikasi kental ala Pambusuang. Kekhasan seperti inilah yang jarang dimiliki oleh para da’i yang lain.
Berbagai penguasaan forum, materi, penyampaian materi, pengetahuan tentang obyek dakwah atau masyarakat secara umum, dan kekhasan logat yang dimiliki sebagai orang Pambusuang menjadi modal yang sangat besar dalam penyampaian dakwah-dakwahnya. Masyarakat secara umum banyak menikmati kedalaman pesan-pesan keagamaan yang disampaikan oleh Annangguru Munu, kadang disampaikan secara serius dan sering diselingi humor-humor yang menggelitik ala orang Pambusuang.
Di samping kelihaian dalam menyampaikan pesan-pesan keagamaan, pemahaman keislamannya, kalau meminjam bahasa yang disampaikan oleh Buya Syafi’i panggilan akrab Prof Syafi’i Ma’arif, Islam dalam bingkai keindonesiaan dan kemanusiaan, seperti itu pemahaman keislamannya. Bukan pemahaman keislaman yang literasi atau tekstual. Dia sangat mengedepankan penyampaian keislaman dalam perspektif kemanusiaan dan sangat fleksibel dalam memahami hukum-hukum keagamaan.
Kefleksibelan dalam memahami ajaran keislaman terutama yang berorientasi fiqhiyyah, itu menjadi ciri khasnya, karena memang harus difahami secara dinamis, juga dalam memberikan respons terhadap berbagai persoalan-persoalan keagamaan di masyarakat sangat kental dengan pendekatan kultural, itu mungkin banyak dipengaruhi ulama-ulama NU yang dikaguminya seperti halnya pemahaman keislaman ala Gusdur panggilan akrab KH Abdurrahman Wahid.
Itulah sedikit refleksi tentang pembacaan saya tentang Annangguru Munu, salah satu generasi penerus ulama yang ada di Pambusuang dalam perspektif pesan-pesan keagamaan atau metode dalam penyampaian bahasa agama atau dakwah yang lebih berorientasi kemanusiaan yang rahmatan lil alamin.
Bumi Pambusuang, September 2023