Adi Arwan Alimin
(Satu)
Beberapa album foto terserak di meja tamu. Telah dua kali jam dinding itu mendentingkan tanda 60 menit. Tapi jemari lelaki itu tak juga berhenti. Cincin sepuhan emas yang dihiasi giok melingkari kedua jari manisnya, bergantian cincin perak itu diputar. Arloji Rado kiriman dari Tawau menjuntai dipergelangannya.
“Bagaimana Daeng? Adami fotota?”
Lelaki yang ditanya menggeleng. Hanya ujung lidahnya yang bergerak seperti ingin menggigit pinggir kumisnya.
“Bagaimana ini Baso, tak adami foto mudaku yang bisa dicuci. Foto-foto ini buram semua…” Daeng Burhan menutup album terakhir yang berisi foto kenangan saat keponakannya menikah beberapa tahun lalu.
“Sebenarnya ini gampang Daeng… kita bisa foto ulang,” usul Baso. Tangan kanan yang menjadi koordinator tim sukses ini sedang melampiaskan hasrat berbau uang.
“Gampang bagaimana?”
“Kalau dikasih masuk komputer Daeng, penampilanta bisa lebih muda dan segar. Bisa ditambahi latar belakangDaeng…” Promo Baso.
“Kalau yang begitu berapa biayanya?” Meski berduit tapi Daeng Burhan ini cukup jago didepan kalkulator.
“Tergantung anu Daeng, kalau fotota mau langsung dibuat jadi spanduk atau baliho, lalu dipasang anak-anak…biayanya adalah Daeng,” terang Baso lengkap dengan perhitungan untung yang akan mengalir ke kantongnya. Sepuluh jari tangannya saling bertemu dan mengelus, ia seperti membayangkan angka-angka ke dompetnya.
“Begitukah Baso?”
“Iye…Daeng?”
KDKP… (Dua)
Fotografer menyeka keringatnya. Telah ratusan kilatan blitz yang menerjang sekujur tubuh Daeng Burhan, tapi belum juga menemukan fokus. Untung saja anak muda yang berprofesi sebagai juru foto ini pengalaman menghadapi obyek seperti tipikal juragan kapal, dan hasil bumi itu.
“Gimana Ndi… bagusji foto?” Tanyanya dengan wajah lelah setelah hampir sejam di ruang studio foto. Dari jas lengkap hingga baju adat, sampai baju koko semua telah dipadankan ke tubuh bongsor Daeng Burhan.
“Mantap Daeng… bukan main ini Daeng fotota, masya Allah…” sergah Baso, mendahului sang fotografer sambil menunjuk beberapa foto yang telah diinput ke layar komputer.
***
Sepekan kemudian baliho Daeng Burhan telah berdiri di beberapa titik. Hasil kreasi studio foto telah menarik jauh kerisauan Daeng Burhan hampir 20 tahun silam. Ia kini jauh lebih muda segar, dan bersih. Bekas jerawat batu, dan wajahnya yang sedikit legam karena dipapar matahari tampak elok di mata. Suatu sore ia melewati baliho itu sambil menjentik jarinya di jendela mobil, sementara Baso bersiul diam-diam.
***
“Kita semua memiliki hak untuk memilih. Kesempatan ini hanya datang sekali dalam lima tahun. Kalau kita salah memilih, maka kita sendiri yang bakal rugi,” kalimat itu melingkari aula balai desa. Seorang laki-laki muda pemilik suara itu tengah berbicara di depan puluhan perempuan, dan warga desa lainnya. Dari bajunya ia kelihatan sebagai aktivis relawan pemilu.
“Apa yang mesti kami lakukan.”
KDKP … (Tiga)
Hampir seisi desa tumpah di balai desa. Dengan spanduk sosialisasi yang membentang, sejumlah pertanyaan warga saling bersahut dengan keterampilan berbahasa pembicara yang datang dari Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
“Kedaulatan berada di tangan rakyat. Yang artinya kita memiliki kedaulatan, tanggung jawab, hak dan kewajiban untuk secara demokratis memilih pemimpin. Caranya, ya melalui pemilu. Bapak-bapak, ibu-ibu, dan adik-adik yang akan menggunakan hak pilih, juga sebaiknya mengenali siapa yang akan dicoblos di bilik suara,” tutur pemateri dari kecamatan.
“Bagaimana kalau ada calon legislatif yang ingin memberi uang untuk dipilih?” Tanggap seorang lelaki dewasa yang memakai batik seperti hendak ke acara kenduri.
“Nah, itu menjadi hak bapak untuk memilih, apakah ingin menukar martabat sebagai pemilih dengan uang 50 ribu atau 100 ribu, lalu kehilangan hakikat kemerdekaan memilih?”
“Ingat saudara-saudara sekalian, satu suara berarti satu nilai, satu jiwa berarti satu pilihan. Apakah ini akan kita tukar dengan menggadai kepada seseorang yang mungkin hanya peduli saat ini, tapi cuek selama lima tahun kemudian,” tambah anak muda yang tampaknya sangat menguasai materi kepemiluan.
Warga menjadi gaduh. Satu sama lain saling bertanya, dan menjawab sendiri. Aula itu sesak ketidakmengertian. Ada yang mengangguk-angguk, atau terkantuk-kantuk. Seorang penyandang disabilitas dengan kursi rodanya yang ikut hadir di forum, terlihat mengutui brosur yang dibagikan ketika peserta datang pertama di ruang yang tak berjendela itu.
Sebuah spanduk yang dipasang di halaman balai desa seperti ingin menjawab keragu-raguan warga. “PILIH KARENA ANDA MENGENAL DAN PERCAYA PADA CALEG. JANGAN BERIKAN SUARA ANDA SECARA SIA-SIA. DI PEMILU RAKYAT YANG MEMILIKI KUASA, AYO GUNAKAN HAK PILIH SECARA TERHORMAT…”
Di luar pagar, seorang lelaki berkacamata gelap mengamati pertemuan itu dari jauh. Ia terlihat menimbang-nimbang sesuatu.
“Iye Daeng, pertemuannya belum selesai. Ini sepertinya bisa jadi masalah buat kita daeng. Oke daeng… siap daeng… laksanakan daeng…” usai menerima telepon wajahnya membiaskan sesuatu yang hanya diketahuinya.
Lelaki itu adalah Baso yang ketika melihat warga mulai meninggalkan balai desa, segera mendekati beberapa warga. Ada yang menghindar, ada juga yang pura-pura tidak tahu. Usahanya untuk menyodorkan sesuatu ke beberapa orang ternyata tak manjur. Mesti ada warga yang berani menerima sembunyi-sembunyi, tapi mereka segera saja menyisipkan pemberian itu ke dalam bajunya, Namun sebagian besar warga masih disemangati pertemuan yang terasa hangat itu. Mereka kini berani menolak Baso.
***
“Tania, kamu akan memilih siapa?”
Terdengar obrolan dari dalam kantin sekolah. Siang itu beberapa siswa sekolah menengah sedang mengelilingi bangku panjang. Sambil menikmati menu istirahat yang masih mengepulkan asap, sejumlah remaja tanggung itu asyik mengunyah makanan sambil mengobrol.
“Itu rahasia dong, apalagi ini akan menjadi pengalaman pertamaku di pemilu…” kata siswi yang bernama Tania.
“Koq saya jadi serasa deg-degan ya, padahal nggak tahu juga mau mencoblos siapa nanti. Habis aku bingung mau pilih siapa?”
“Kenapa jadi bingung?”
“Gimana nggak bingung, kalau tante, om, tetanggaku… pada jadi caleg semua. Padahal suara hanya satu nilainya untuk satu kertas suara. Please deh…”
“Nah, inilah kesempatan kita untuk memilih siapa yang paling terbaik. Karena saat ini makin banyak pilihan, kita tentu lebih banyak bisa memilah, mana yang paling pas untuk kita-kita yang muda-muda ini bro…” timpal siswa laki-laki yang sejak tadi terlihat dikepung rasa pedas bakso.
“Lah, kamu sendiri mau milih siapa…” desak Tania sambil mendelik pada kawannya yang kembali asyik menyeruput kuah baksonya.
“Saya? Kasih tahu nggak ya…” Candanya membalas Tania. Kantin menjadi riuh.
***
“Apa benar harga sayur-mayur dan rempah-rempah ini ada hubungannya dengan pemilu,” tanya seorang ibu-ibu yang masih memakai daster sambil membongkar dagangan sayur-mayur yang masuk ke lorong kompleks.
“Masa sih ada hubungannya, sampai sejauh itu kali ya…” jawab Mas Sayur sekenanya.
“Iyaya… ada nggak huhungannya. Saya jadi bingung deh bu untuk menjawab… nggak ngerti soal politik. Lelet hahahaha…” sambung ibu muda sambil menggendong anak kecil.
Di sela perbincangan itu, sebuah mobil tengah memasuki kompleks. Lalu berhenti di sisi sekumpulan ibu-ibu. Kaca jendela mobil yang sejak tadi tertutup perlahan menyingkap siapa yang duduk di dalam.
“Assalamualaikum ibu-ibu… lagi sibuk belanja nih…” kata Daeng Burhan berusaha menebar keramahan.
“Mas, coba sini aku bisikin,” panggil Daeg Burhan dengan memperlihatkan cincin bermata giok hijau di tangannya.
“Saya daeng…” Mas Sayur seperti ingin melompat mendekati Daeng Burhan yang tidak turun dari mobilnya. Setelah laki-laki paling parlente di kampung berlalu. Giliran ibu-ibu yang menyerbu penjual sayur. itu.
“Mas ada apa sih?”
“Hari ini isi gerobak sayur ini gratis buat ibu-ibu di kompleks ini. Daeng Burhan udah bayar kontan…” ungkap Mas Sayur sesegar sayurannya.
“Koq bisa mas…”
“Ya, itu tadi… inilah hubungannya antara sayur-mayur saya dengan dunia politik. Gampang toh…”
Kontan saja, kumpulan ibu-ibu kompleks kompak bingung.
***
Tibalah hari yang ditunggu-tunggu warga. Beberapa linmas atau hansip tampak menyusun kursi di dalam area yang telah dipagari bentangan tali rapia. Seperti hendak ke pengantin, para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) juga standby dengan jas tutup dan sokkoq biring, yang perempuan memakai baju pasangan berwarna putih. Cukup ramai suasana Tempat Pemungutan Suara (TPS) meski tanda waktu masih pukul 07.00.
Seorang petugas keamanan dengan setelan hansip baru hasil pembagian membuat gagah. Ia berdiri di luar pagar, dan memperhatikan orang yang lalu-lalang. Heran juga pada setiap pemilu sebagian besar hansip yang terpilih selalu para tetua, padahal mereka biasanya bekerja sampai larut malam. Maka dengan terkantuk-kantuk seorang hansip terlihat menguap, setelah itu kumisnya yang memutih tak lupa disapunya, sambil dilinting.
Tak lama, warga pun berdatangan. Memenuhi area TPS. Seorang petugas TPS sebelum membuka kesempatan mencoblos, mengurai ulang teknik dan cara pelaksanaan agenda yang hanya datang lima tahun sekali itu. Saat menjelaskan, warga mengangguk-angguk tanda mengerti, sebagian besar pemilih memang telah berulang kali memilih.
Ada pria yang nyaris pingsan ketika perhitungan suara dimulai. Bagaimana tidak, orang yang paling dijagokan selama ini ternyata lebih banyak dilangkahi alias jarang disebut. Mulutnya ternganga sepanjang petugas TPS menghitung suara. Orang bersorak setiap kali jagoan mereka disebut, orang bertepuk tangan pada setiap suara yang menghitung keterpilihan.
Baso pulang dengan tangan hampa. Jaketnya diselempang di bahu. Tanpa bicara ia mendorong motornya jauh-jauh. Setelah itu ia tancap gas entah kemana, karena lupa helmnya hanya tergantung menjuntai.
Pada senja hari, beberapa jam setelah penghitungan suara di TPS. Ada pemandanga tak biasa di sebuah teras rumah kayu. Dengan bertopang dagu, Daeng Burhan seperti kehilangan semangat.
“Tolong carikan Baso, …” kalimatnya seperti mengapung diantara daun-daun mangga, berpesai-pesai di ruas-ruas pagar bambu. Daeng Burhan kecewa berat.
Orang yang diminta mencari Baso, telah kembali.
“Tidak tahu dimana?” Ketika tahu yang diperintah pulang tanpa hasil. Yang ditanya demikian ingin beringsut mundur, tapi tak berani. Jadilah dia seperti kucing yang tertangkap basah di meja makan.
Daeng Burhan jadi mengingat bagaimana Baso yang pertama kali membujuknya sebagai caleg. Bagaimana anak buahnya itu selalu tampil parlente sebagai tim sukses. Bagaimana Baso akhir-akhir ini kabarnya begitu royal pada gadis-gadis di kampung. Bayang-bayang itu ingin diusirnya menjauh hingga ke Teluk Mandar.
“Baso cilaka…” hardiknya pada kenyataan. Udara terkesiap menebarkan debu yang kuyu di kemarau memanjang. Di halaman rumahnya masih berdiri tegar baliho yang memuat dirinya yang menurut Baso makin gagah. Meski kecewa dengan hasil suara yang mulai mengalir ke rumahnya, diam-diam dia juga bangga memandang fotonya dicetak besar.
Sebuah kalkulator citizen berada di mejanya. Bersama kopi hitam dalam canteng burik hijau. Sepiring bolu paranggi masih tersisa. Beberapa helai kertas berisi catatan, entah kumpulan angka-angka kiriman saksi di TPS atau coretan seberapa banyak uang yang dihamburkan Daeng Burhan.
Semua itu segera saja remuk dalam kepalan tangan sang Daeng. Sebuah tong sampah plastik menerima lemparan kertas yang berubah menjadi gumpalan kekesalan.
****
Di tempat lain esok harinya. Di aula kantor desa.
“Tidak penting siapa yang telah terpilih di Pemilu. Yang jelas mereka memiliki tanggung jawab kepada rakyat. Yang penting pemilu kita tahun ini berjalan aman. Dan, masyarakat kita makin pandai memilih siapa yang pantas menjadi wakil rakyat di parlemen,” seorang pria berkopiah berbicara di depan peserta rapat di balai desa. Safari yang dikenakannya menunjukkan ia kepala desa.
“Kapala, bagaimana dengan janji-janji yang terpilih itu? Apakah bukan sekedar janji penghibur…”
“Pasti akan kita tagih nanti… kita sama-sama,” ujarnya tegas. Orang-orang yang hadir sepakat bersetuju. [★]
Mamuju, 15-31 Agustus 2013
Kisah pendek ini didedikasikan buat para Pemilih Cerdas di Republik ini…