Oleh : Muhammad Rahmat Muchtar
[otw_shortcode_dropcap label=”R” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]ak buku tua itu masih bertahan. Tapi sudah tak ada jejeran buku lagi yang ia tampung. Malah beralih fungsi menjadi rak yang dipenuhi tumpukan perabot kecil tak beraturan. Benda-benda yang sudah sulit dicatat storynya. Lusuh berdebu. Rak buku tua itu seakan mengerti kalau dunia lagi dirundung wabah pandemi covid 19. Tanpa vaksin. Bertahan tanpa buku. Menjadi memorabilia yang kusut dan tak diinginkan oleh interior rumah-rumah kini. Lama membatu di lereng sejarah. Bersemedi seperti Ashabulkahfi di dalam gua.
Entah buku-buku apa saja yang dulu pernah berderet. Saya tidak berupaya kuat mendapatkan sejarahnya dengan runtut dan lengkap. Singkatnya rak buku tersebut sezaman dengan Meledaknya peristiwa malapetaka januari yang populer dengan nama malari 1974 di Jakarta. Persis tahun kelahiran saya, Gelombang protes pertama saat orde berkuasa yang bermuara kisruh. Zamannya Hariman Siregar sang macan kampus. Zamannya para jenderal-jenderal suka bermain mata dengan mahasiswa. Zaman dimana banyak buku-buku ditakuti terbitnya. Jadi buku putih dalam pustaka hitam.
Mungkin banyak rak buku-rak buku yang senasib dengannya. Jadi rak rempah di dapur misalnya, bahkan jadi kayu bakar. Terbunuh biografi dirinya. Kekasih setianya yang bernama buku entah kemana. Rayap bukupun tak beri kisah cerita, apalagi sang kutu buku. Banyak teman-teman yang membangun kenangan dengan rak buku, otomatis bersama buku. Walau ia tak kutu buku, tapi suka buku. Meski ia yakin tak kan dibawa mati. Ya, semua benda pun begitu. Seperti lukisan seperti jam dinding dan perabot rumah lainnya.