Catatan Mini: Kota di Lereng Sejarah

Oleh : Muhammad Rahmat Muchtar

Berkali-kali dicupang kota. Bercaknya tidak hanya di leher, lengang dan dada, bahkan segenap tubuh, pakaian serta gaya. Saking bertubinya, nyaris kampung atau desa di diri pupus jadi museum pajangan bertuah. Satu paket dengan program darmawisata serta lumutan sejarah. Selalu bertemu di kota. Belantara akal. Engkau berkata : kota ibarat mahsyar berjubel harapan, sangsi dan penyaksian dunia. Kau memilihnya dengan seluruh tulang yang terbanting.

Entah banyak yang tak mau tahu, kenapa kota mesti lahir. Mengapa laju urbanisasi tak kunjung padam dan transmigrasi terus lahirkan kota-kota baru. Eksodus ke eksodus. Terparkir di pikiran sekonyong hasrat menjadi pelaut muslim dan columbus yang merintis tunas kota Amerika. Tak peduli siapa yang pertama gerayangi.

Sekonyong hasrat menjadi Fatahillah yang usir Portugis gegerkan Sunda Kelapa mengubahnya dengan nama kota Jayakarta, kini Jakarta. Ex ibukota Hindia Belanda.

Kota-kota apapun ia, sangat inspiratif masa lalu dan laju kembangnya. Ada yang julang sampai zaman kini, ada yang revitalisasi kembali puing kota masa lalunya, ada yang total mengubur bahkan terkubur oleh kutukan katanya, ada yang mengambil alih kota-kota lain dan bangun kota baru atas puji rezim, suku dan agama. Bejibun khazanah eksistensi kota-kota itu. Tentu sekelumit keindahan perang, karya, cinta dan keuletan masing-masing bangsa yang mengupayakannya berjaya. Berperadaban.

Lewat kota kita saling bertemu. Segala desa, segala etnik, keyakinan dan segala rupiah mengalir ke kota. Sentralilasi kendali urusan manusia terutama kendali ekonomi, politik dan segala-galanya, sepertinya memang sunnatullah melahirkan kota provinsi juga kabupaten. Kota mesti lahir.

Sebagaimana Bandung, Jakarta, Jogja, Semarang, Palembang, Makassar serta seluruh kota-kota di Nusantara. Tak soal siapa yang tua. Kota mesti memang tumbuh. Di kawasan Eropa, Timur tengah, Afrika dan gugusan kota-kota di Asia. Tak tuntut siapa yang imperialis. Lihatlah kota.

Opinimu berkibar, bahwa kota kesan ganas, sesak dan cemar. Sedang desa sahaja, tenang dan nyaman. Kupikir itu provokasi cerber (cerita bersambung) yang sudah usang. Sama usangnya majalah bobo dan komik silat. Semua bisa saling bertukar dan cuacakan sifat apapun. Sedang lainnya berkilah, bahwa kota belukar pemikiran, danau gagasan kontemporer dan peternakan titel. Kota-kota sudah memuncak di zaman lampau. Menata pemukiman, penyembahan, benteng, kantor musyawarah, keraton, lapangan serta seabrek pelaku daya tumbuhnya. Di kota, keringat menjadi kolam renang.

Ketpot utama : Pelabuhan Haven Batavia Tempo Doeloe (Wikipedia)

Jakarta, 24 September 2020