Carnival Wonomulyo: Pesta Budaya, Sejarah dan Selamanya…

Oleh Adi Arwan Alimin

SEPANJANG sore hingga bakda Isya Kamis (9/10) kemarin, etalase Mandar Cocoa (Macoa) yang berada di bilangan jalan Kediri kepul gagasan. Panitia Carnival Wonomulyo samuh membahas even yang kali pertama akan segera digelar. Panitia sedang mencari hari baik.

Sebagian sudah berkumpul saat saya datang, telah ada bang Makmun Mustafa, Wakil Ketua DPRD Sulbar Abdul Halim, Wahyudi Muslimin, Kevin, Endar, juga panitia lainnya lalu menyusul ketua panitia Carnival Ichsan Sahibuddin. Sebenarnya rapat telah dilakukan dua-tiga kali pertemuan untuk membincang agenda yang akan menjadi rangkaian utama dari Hari Jadi Wonomulyo.

Jelang mahgrib hadir pula tokoh senior Bahrun Sahibuddin disusul Camat Wonomulyo Ir. Sulaeman Mekka dan aparatnya yang tampak sangat akrab di tengah pertemuan. Jadilah rapat panitia ini sebagian lingkar regenerasi sebab berkumpul angkatan 1980, 1990, 2000-an. Lalu disusul mantan punggawa Sanggar Nusantara Yogyakarta saat kuliah di Jogja Muhammad Fajrin yang selanjutnya didaulat menjadi Stage Manager. 

“Komposisi kepanitian ini memang cara kita untuk tetap merawat kesinambungan sirkulasi gagasan. Makanya tampilannya lintas generasi mulai dari elemen X, Y hingga Z,” kata Makmun Mustafa salah satu pentolan Fire Stone Wonomulyo, organisasi pemuda sangat populer di Polmas pada masanya.

“Saya sendiri selalu membayangkan bagaimana Wonomulyo ini tetap mampu menjaga atmosfir keragamannya, juga anak-anak mudanya yang kreatif. Serta generasi pelanjut yang akan tetap merawat tradisinya,” jelas Abdul Halim salah satu pimpinan DPRD Sulbar ini.

Oktober lalu Halim memimpin rombongan panitia menemui salah seorang sepuh Wonomulyo H. Sarjikir yang tinggal di Desa Bumi Mulyo. Pertemuan yang berlangsung cukup lama itu sekaligus menyimak ulang sebagian ingatan warga paling sepuh ini mengenai kedatangan pertama orang Jawa di Tanah Mandar.

Carnival 2023 dipimpin ketuanya, Ichsan Sahibuddin. “Sesuai temanya agenda kita ini akan mengusung beragam suguhan acara, dari campur sari, tanggap wayang hingga diskusi bersama milenial dan generasi Z Wonomulyo. Ini penting untuk terus merawat kesinambungan tumbuh suburnya tradisi beride dari kota kecil ini,” sebut Ichsan alumnus Yogyakarta ini.

Menurut Ichsan Carnival Wonomulyo merupakan buah pergumulan gagasan sejak Focus Group Discussion (FGD) lalu Seminar Diaspora Kampung Jawa tahun 2022 dan 2023.

“Jadi ini bukan gelaran asal comot, tapi melalui maping, riset bahkan serta rangkuman antusias warga Wonomulyo, warnanya terlihat dalam simpul panitia yang beragam ini. Warga kota kami merindukan sebuah hari jadi mengingat usianya yang hampir seabad.”

Antusias itu misalnya ditunjukkan Reza Fahlevy Mekka, Tim Media Sosial Carnival Wonomulyo. “Kami sangat berharap even ini akan merangkul warga melalui beragam agenda yang dilaksanakan. Terkhusus pada milenial dan gen Z yang sangat penting mengetahui, dan akan menjadi pelestari tradisi dari keragaman budaya Wonomulyo,” terang Fahlevy.

Saya melihat, komposisi kepanitian Carnival didominasi elemen muda tahun 2000-an. Para senior sudah lebih banyak menyimak, dan mengarahkan kelindan masukan. Ruang Macoa yang dipenuhi produk cokelat itu meriah pembagian job untuk menyambut potong tumpeng segala rupa bulan ini.

Wonomulyo merupakan kecamatan di Polewali Mandar yang dilahirkan sejak era Hindia Belanda. Keragaman etnik dan budaya di kota kecil ini dikenal sebagai episentrum perekonomian penting di Polewali Mandar, yang memberi pengaruh besar pada diaspora warganya diberbagai kota di Indonesia.

Bila menghitung sejak kedatangan pertama kolonis Mapilli 1 September 1937, yang kita peroleh dari ‘Memoar Leyds’ Asisten Residen Mandar di masa Hindia Belanda, tahun ini Wonomulyo telah berumur 86 tahun. Sepanjang itu generasi yang lahir di Wonomulyo tumbuh amat egaliter.

Silang budaya antara orang-orang Jawa, Mandar, Bugis, Makassar, Toraja dan etnis lain tersimpul amat kuat. Bekas daerah kolonisasi ini tidak pernah terdengar mengalami destruksi atau benturan sosial karena perbedaan tradisi, budaya dan agama. Akur, guyub dan siwaliparri telah lama melekati warganya.

Wonomulyo menjadi contoh penting dari wajah pembauran bangsa di tengah laju pembangunan yang terus berkembang di negeri ini. Orang-orang dapat datang belajar di sini. Pada dasarnya warga Wonomulyo amat terbuka walau mereka dilahirkan dari kultur banyak bertanya dari sikap kritisnya.

Itulah secuil rangkuman dari tema besarnya mengenai pesta budaya, sejarah, dan tumbuh bersama selamanya. Kota ini memang seperti dibuat dari rasa rindu warganya satu sama lain… (*)