Oleh Nasrullah
(Mantan Komisioner Bawaslu RI)
KETIKA penyelenggaraan Pilkada di tahun 2015 terdapat empat daerah yang memiliki calon tunggal, dan 2017 terdapat sembilan daerah calon tunggal. Maka potensi calon tunggal pada pilkada-pilkada berikutnya pasti akan meningkat.
Sikap opurtunis-pragmatis transaksional adalah penyebabnya. Pada Pilkada sebelumnya, terdapat upaya untuk mengikis praktek tersebut. Namun saat ini semakin terang benderang negara membiarkan praktek perilaku menyimpang tersebut hidup bebas.
Belum tuntasnya membenahi kualitas pemilu/pilkada yang masih jauh, fenomena hadirnya calon tunggal justru semakin menjauhkan kadar kualitas pilkada. Syahwat politik yang berlebihan “memborong partai” memberi sinyal negatif betapa rendahnya martabat penyelenggaraan pilkada yang di dalamnya terdapat aktor pemilu. Partai politik/peserta pemilu, penyelenggara dan pemilih.
Dalam pencalonan, proses normatif saja diduga menggunakan mahar politik, apalagi calon tunggal yang memborong partai.
Penyebab terjadinya calon tunggal antara lain:
1. Syahwat politik yang terlampau berlebihan, sehingga mendorong memborong partai dan tidak memberi kesempatan kepada orang lain untuk memenuhi syarat minimal.
2. Salah satu kandidat dianggap sangat kuat. Sehingga penantang merasa buang-buang duit saja. Hal ini sempat terjadi di Tasikmalaya.
3. Gugur atau tidak memenuhi syarat setelah melalui proses penelitian di KPU.
Terhadap penyebab angka 1 di atas. Sangat kuat dugaan potensi praktek mahar politik. Bahkan dapat dipastikan praktek mahar tersebut digunakan.
Demikian halnya angka 2 di atas, berpotensi penggunaan mahar politik. Meski didukung pigur kandidat yang kuat, masih saja terdapat larpol atau kandidat yang menawarkan untuk menggunakan syarat mahar.
Menutup kesempatan bagi orang lain untuk berkompetisi dalam ajang kontestasi politik dengan cara memborong partai politik menggunakan mahar politik adalah perilaku hiper-kekuasaan yang menyimpang dari hukum dan moralitas-etik pemilu.
Prinsip integritas pemilu adalah syarat mutlak yang wajib dipegang dan dijalankan oleh para aktor pemilu.
Sampai tulisan ini dibuat, informasi sementara terdapat 13 daerah yang memiliki calon tunggal. Ini berarti terdapat peningkatan dari setiap even pilkada digelar.
Dengan demikian, keberadaan calon tunggal dapat dipastikan sangat merusak kualitas demokrasi yang tidak hanya aspek kompetisi yang melawan kotak kosong, namun juga hadirnya praktek pragmatis transaksional dan menyimpang. Dan kualitas Pilkada mengalami kemunduran.
Praktek tersebut bisa saja diantisipasi dengan cara lebih mendalami sikap borong partai oleh salah satu kandidat.
Punishment, terhadap pelaku borong partai yang menggunakan mahar politik dapat ditindak berdasarkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pilkada.
Menurut UU No. 8 Tahun 2015 tersebut, penegakan pelaku mahar politik melalui proses peradilan. Atas dasar putusan peradilan yang dipakai untuk mendiskualifikasi pasangan calon, pasangan calon terpilih bahkan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/walikota.
Problemnya, bagaimana cara membuktikan mahar politik tersebut. Pengakuan La Nyalla terhadap mahar politik yang dilakukan oleh salah satu partai politik, sebenarnya dapat saja dielaborasi lebih dalam. Atau terdapat La Nyalla-La Nyalla lain yang pernah dimintai dan tidak mampu membayar karena terlampau tinggi bayarannya.
Sehingga bergeser ke calon lain dan berdampak calon tunggal. Pengakuan para bakal pasangan calon, setidaknya dapat membantu diawal proses hukum untuk menguak mahar politik itu.
Sebenarnya pengakuan orang yang melakukan praktek mahar politik sangat dibutuhkan. Tetapi mustahil orang akan menggali kuburan buat dirinya sendiri.
Pengecualiannya jika orang yang sudah patah arang karena tidak terpilih dan telah menggelontorkan uang yang begitu banyak, berkehendak buka suara dan menjadi saksi.
Menurut pasal 47 UU No. 8 Tahun 2015, dalam posisi sebagai kepala daerah menjabat sekali pun dapat dibatalkan.
Alternatif lain yang dapat ditempuh adalah hadirnya niat baik untuk melakukan penegakan hukum yang mampu direspon oleh Bawaslu.
Kegelisahan terhadap efek kondisi maraknya calon tunggal, sebaiknya menjadi skala prioritas untuk menjaga integritas Pemilu. Sebagai institusi yang diberi amanat untuk melakukan pengawasan. Wajib menghadirkan suasana baru, kreatif dan responsif terhadap penegakan hukum dan moralitas-etika Pemilu.
Bawaslu dapat saja merancang dan mengeksekusi langsung berupa kerjasama dengan mengajak KPK dan PPATK serta kepolisian untuk melakukan investigasi pembuktian praktek mahar politik terhadap calon tunggal di 13 daerah tersebut.
Apabila ternyata dugaan tersebut menguatkan bukti-bukti, maka Bawaslu dapat saja merekomendasikan untuk mengambil langkah hukum melalui lembaga peradilan.
Bukankah sesungguhnya Bawaslu bisa jadi penyelidik/penyidik dan penuntut dalam tim Sentragakumdu?
Oleh sebab itu, Bawaslu harus berani mengambil sikap untuk segera menyudahi praktek-praktek yang membodohi rakyat dan merusak tatanan Pemilu dan demokrasi.
Sudah saatnya kenakalan calon tunggal yang memonopoli partai dengan perilaku mahar politik didiskualifikasi. (*)
Foto : tempo.co