Oleh: Sudirman Syarif
USMAN Suhuriah. Mantan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sulawesi Barat itu kini menjabat Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Barat dari Fraksi Partai Golongan Karya (Golkar). Dia terpilih dalam Pemilu Tahun 2019.
Lelaki kelahiran 4 Desember 1968 dikenal getol menulis opini di beberapa media. Termasuk beberapa buku, semasa menggawangi KPU Sulbar, Usman melahirkan buku berjudul Merayakan Demokrasi Catatan Pilkada Sulawesi Barat (2017), Kumpulan Menulis, Merobek Demokrasi (2018), Dinamakan Penyelenggaraan Pemilu dan Demokrasi di Indonesia (2019). Terbaru, Jangan Melambat di Lajur Cepat.
Buku setebal 313 halaman, ditulis di sepanjang September 2019 hingga menjelang September 2021 dan diterbitkan oleh Gerbang Visual, sebuah perusahaan media yang berbasis di Polewali Mandar.
Buku tersebut berbicara banyak terhadap Pemerintah Provinsi Sulawesi Barat. Mulai dari persoalan penanganan Covid-19, gempa, politik, demokrasi, para pejuang, wibawa Pemerintah, hingga Ali Baal In Very Sad Day.
Disebutkan, dipahami bahwa data-data makro Provinsi Sulawesi Barat seperti indeks pembangunan manusia masih di 65,10 persen, di bawah Nasional yang sudah mencapai 7,3 persen. Angka kemiskinan masih di atas Nasional sebesar 11,02 persen jauh dari target RP JMD 9,9 1 persen 2019. Anggaran pendapatan belanja daerah masih minimalis sebesar Rp2,1 triliun dengan Pendapatan Asli Daerah masih sebesar Rp320 miliar.
Belum lagi masalah stunting, yang menempati urutan kedua pada angka prevalensi tertinggi sebesar 41,80 persen secara nasional.
Soal konektivitas wilayah, khususnya infrastruktur masih sangat bermasalah. Misalnya bandara yang baru belum representatif, serta infrastruktur jalan dan jembatan. Kemudian yang paling tidak menguntungkan adalah rasio ketergantungan keuangan daerah terhadap pemerintah pusat makin meningkat.
Akumulasi dari angka makro dan fakta, disebut saja sebagai obyek masalah dengan beragam sub masalah, di mana memerlukan intervensi secara cepat bentuk intervensi lulus dengan muatan intervensi terhadap masalahnya, agar perubahan terhadap angka-angka yang diharapkan dapat bergerak melaju dan stabil.
Terdiri 73 tema atau judul tersebut disebut penulis dengan gaya populer berisi telaah, fakta, data dan fenomena yang dihadapi Provinsi Sulawesi Barat.
Fakta, data dan fenomena ini harus dikelola bila Sulawesi Barat berniat mengejar ketertinggalannya dari provinsi lain. Fakta dan fenomena soal IPM, reformasi birokrasi, akutnya ketergantungan keuangan daerah kepada Pemerintah Pusat, angka kemiskinan, pengangguran, pentingnya regulasi dan karakter kepemimpinan yang diperlukan, adalah masalah-masalah yang harus dihadapi daerah ini.
Ini fenomena utama yang diantaranya ditulis dalam buku ini. Fenomena yang memerlukan tindakan taktis seperti bagaimana menemukan sumber pendapatan baru, bagaimana potensi sumber daya alam, sungai, laut, lahan tidur.
Ini memerlukan “soft power” di mana pemerintah daerah harus kuat. Pemerintah daerah dapat menjalankan fungsi solidariti maker, mengarahkan kemampuan semua pihak untuk mengkonsolidasi dan tidak diharapkan jalan sendiri.
Karena itu disinggung soal pentingnya gerakan seiring, serentak seperti bagaimana hubungan provinsi dengan kabupaten-kabupaten, bagaimana penganggaran yang jitu, karena kapasitasnya kecil sehingga berarti wajib fokus ke penyelesaian masalah.
Tulisan berkaitan dengan watak dan karakter yang tidak mendukung percepatan kemajuan seperti konflik dan faksi-faksi politik lokal membutuhkan pengelolaan.
Fakta seperti tersebut jangan tidak dihitung bila pikiran pemerintah daerah diharapkan berpikir utuh dan holistik. Peran perguruan tinggi yang bersifat non-aktif, ormas-ormas, organisasi masyarakat sipil, pihak swasta dan semua elemen yang ada seharusnya menjadi motor untuk memberikan power percepatan.
Percepatan ini penting karena suka tidak suka, saat ini kita semuanya sedang berjalan di atas jalur cepat. Jalur cepat yang dimaksud karena perubahan-perubahan yang ada itu lebih cepat dari yang kita duga.
Perubahan yang cepat ini makin bermasalah oleh karena pesaing seperti daerah atau provinsi lain sudah lebih awal memiliki percepatan dan penguatan dibanding Sulbar.
Hal lain yang disinggung di buku tersebut adalah pentingnya mengelola politik altruis dan bagaimana mengelola praktek politik sumbu pendek. Politik sumbu pendek dimaksud ini adalah sikap reaktif pemerintah dan masyarakatnya yang tindakan-tindakannya kadang tidak berdasarkan sikap ke KITA-an, tetapi masih ada tindakan ke KAMI-an, keegoan.
Dari sini dibutuhkan konsensus yang kuat, solidaritas yang kuat agar percepatan kemajuan daerah dapat dilakukan. Kalau ini tidak dapat dilakukan maka dapat dipastikan daerah ini akan terus melambat.
Perlu dipahami bahwa perlambatan ini bertambah, tidak dapat dipahami bila isyarat baru seperti penetapan wilayah Sulawesi Barat sebagai jalur ALKI II dan wilayah WPP untuk pengelolaan perikanan tidak bisa ditangkap dan dikelola.
Ini belum dihitung isyarat baru dengan pindahnya Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan Timur, seharusnya provinsi ini sudah siap “go ahead” dalam menyambut perubahan-perubahan itu.
Hal yang mendasari usaha memajukan Sulawesi Barat sama berarti memajukan Indonesia, tidak lain maksudnya provinsi ini adalah bagian dari visi keberhasilan Indonesia menuju negara maju.
Berada dalam konsep nawacita bahwa upaya memajukan negeri tercinta adalah dimulai dari memajukan daerah-daerah. Sehingga provinsi ini jangan menjadi beban dari visi Indonesia untuk menjadi negara terbesar kelima dunia yang telah dicanangkan. Ketika Indonesia sudah berusia 100 tahun pada 2045 mendatang.
“Judul buku itu (Jangan Melambat di Lajur Cepat) harap menjadi representasi dari pesan buku yang disampaikan, bahwa jika Sulbar tidak bisa mengumpulkan seluruh energi kekuatan menghadapi hambatan, maka kita tetap melambat di lajur cepat,” kata Usman kepada mandarnesia.com usai diskusi peluncuran buku di salah satu cafe di Mamuju, Selasa (21/9/2021). (*)