Buku Disita, Apa Hubungannya dengan Kasus Narkotika?

BANDUNG, mandarnesia.com — Pada 11 Juni 2021 terjadi penangkapan seorang musisi papan atas tanah air yang disangka menggunakan narkotika jenis ganja di sebuah rumah di daerah cibubur, jakarta timur. Hal ini cukup mengejutkan banyak pihak karena musisi yang dimaksud adalah Erdian Aji Prihartanto atau yang lebih dikenal dengan Anji.

Polisi menemukan 30 gram ganja dan sebuah buku berjudul “Hikayat Pohon Ganja”. Namun yang aneh dari hal ini adalah polisi juga ikut menyita buku tersebut untuk dijadikan sebagai barang bukti. Tentu saja, hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan proses pembuktian dalam ketentuan UU Narkotika yang menjerat tersangka.

Bukan pertama kalinya polisi menyita buku sebagai barang bukti. Setelah sebelumnya dari kasus Jeff Smith, kepolisian juga menyita buku-buku yang berkaitan tentang ganja.

Sesuai Pasal 39 Ayat 1 KUHAP menjelaskan bahwa jenis barang yang dapat disita antara lain, barang yang diperoleh/ sebagai hasil dari tindak pidana, barang yang digunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana, barang yang digunakan untuk menghalangi penyidikan, benda khusus yang digunakan untuk tindak pidana, dan benda yang mempunyai kaitan langsung dengan tindak pidana. Dari hal tersebut, sudah sangat jelas bahwa buku tidak termasuk dalam kriteria barang yang dapat disita dalam kasus Anji.

Bukankah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kita, Nadiem Makarin sudah gencar-gencarnya mempromosikan jargon “Merdeka Belajar” yang artinya proses belajar tidak terbatas oleh ruang kelas, buku-buku dan guru tertentu?.

Hal ini seharusnya menjadi suatu proses kemerdekaan berpikir dari proses pendidikan. Dan negara kita telah mengatur hal ini dalam konstitusi kita pada Pasal 18 UU 12/2005 bahwa setiap warga negara berhak atas kebebasan berpikir. Selain itu juga, pada Pasal 28 Huruf F UUD 1945 menyatakan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan segala jenis saluran yang tersedia.

Padahal, pihak Polres Metro Jaya yang menangkap Anji sempat mengakui bahwa kepemilikan buku tersebut adalah bagian dari pendidikan tersangka terhadap tanaman ganja. Maka seharusnya penyitaan buku tersebut sangat tidak perlu karena tidak sesuai dengan UU dan ditambah tidak ditemukan sama sekali kaitan dengan proses pembuktian.

Sebaliknya, buku-buku yang berisi pengetahuan mengenai tanaman ganja menjelaskan kesalahan-kesalahan kebijakan narkoba yang diterapkan saat ini berdasarkan berbagai kajian. Berbagai negara kini telah mengakui manfaat ganja terutama di bidang medis.
Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan mendorong supaya reformasi kebijakan narkotika dapat segera dilakukan oleh Pemerintah dan DPR RI. Kebijakan baru yang diusulkan adalah yang berlandaskan bukti-bukti ilmiah bukan mitos apalagi isapan jempol semata. Selain itu, kebijakan juga perlu memperhatikan perkembangan dunia akan posisi tanaman ganja.

PBB sempat mengadakan pemungutan suara untuk menentukan posisi ganja dalam Konvensi PBB tentang narkotika 1961 yang dilaksanakan pada Desember 2020 lalu. Sidang tersebut dihadiri oleh 53 negara yang memutuskan untuk menghapus ganja dari narkotika golongan empat, yaitu narkoba yang konsumsinya merugikan kesehatan hingga kematian. Penghapusan tersebut didasari oleh temuan dalam kajian WHO bahwa zat-zat yang terkandung dalam tanaman ganja mempunyai properti pengobatan nyeri, ayan, peradangan, hingga multiple sclerosis.

Sebelumnya, ganja terdaftar sebagai narkotika golongan satu dan empat. Zat-zat yang terdaftar dalam dua golongan di Konvensi 1961 dianggap rentan disalahgunakan, berdampak pada kesehatan, dan hanya sedikit bahkan tidak bermanfaat sama sekali untuk pengobatan.

Dengan demikian, kebijakan narkoba tidak lagi bertumpu pada pemidanaan seperti yang sekarang diterapkan. Kebijakan seperti itu akan berdampak pada kelebihan populasi penjara, penularan virus darah dan kematian jalanan akibat keracunan bahan campuran narkoba. Jadi, kebijakan yang dipilih harus berpendekatan kesehatan masyarakat dan berlandaskan bukti-bukti ilmiah.

UU RI No. 35 Tahun 2009

Untuk mendorong perubahan tersebut, salah satu langkah yang diambil koalisi adalah mengajukan permohonan uji materi Pasal 8 Ayat 1 UU RI No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan. Mahkamah Konstitusi juga telah menggelar sidang perdana Maret lalu dan akan dilanjutkan Selasa, 22 Juni 2021 dengan agenda mendengar keterangan dari Pemerintah dan DPR RI.

Melalui uji materi tersebut, koalisi berharap bisa menyadarkan kembali para pembuat kebijakan bahwa tujuan diterbitkannya UU Narkotika adalah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Ini merupakan tujuan nomor satu yang tercantum dalam UU Narkotika RI.

Dengan demikian, selain menjadi selaras dengan Konvensi PBB tentang Narkotika 1961 di mana narkotika golongan satu merupakan zat yang memang ditujukan untuk pengobatan, akan lebih banyak kajian lokal yang memanfaatkan narkotika untuk kepentingan medis. Rakyat pun memiliki lebih banyak alternatif pengobatan yang memang sudah dimanfaatkan umat manusia ribuan tahun lalu tapi aksesnya terhalang oleh kebijakan pemberantasan dan pemidanaan zat-zat tersebut.

Kondisi demikian hanya bisa terjadi bila para pembuat kebijakan dan aparat-aparatnya memiliki sikap yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Info lebih lanjut bisa hubungi +62 822-2770-3428, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan: Rumah Cemara, Institue for Criminal Justice Reform, LBH Masyarakat, Indonesia Judicial Research Society, Yayasan Kesehatan Bali, Empowerment Justice Action, dan Lingkar Ganja Nusantara.

Sumber: Rilis Rumah Cemara, Bandung.

Sumber Foto: Screenshoot Youtube