Oleh: Alfian Muhammad (alvin88@gmail.com)
Judul: Jangan Melambat Di Lajur Cepat: Memajukan Sulawesi Barat Memajukan Indonesia
Penulis: Usman Suhuriah
Penerbit: Gerbang Visual
Terbit: September 2021
Tebal: xiii + 301 Hal
“JANGAN MELAMBAT DI LAJUR CEPAT” adalah metafor yang digunakan Usman Suhuriah dalam upaya percepatan pembangunan di Sulawesi Barat. Wakil Ketua DPRD Provinsi Sulbar ini memandang, percepatan pembangunan adalah proses, tindakan, keberpihakan, dan bentuk pemberdayaan yang dilakukan secara terencana, terukur, terkoordinasi, dan terpadu. Seperti melaju di lajur cepat, seorang pengendara harus memahami dan mematuhi rambu rambu jalan yang ada. Dengan demikian, arah percepatan pembangunan yang berkualitas, memaksimalkan potensi yang ada, berbiaya efisien dan efektif, dan didukung sumber daya manusia yang mumpuni dapat dicapai.
Buku ini terdiri atas lima bagian yang saling mengikat. Kelima bagian memiliki kohesi kuat, paling tidak, untuk melihat potensi dan kekuatan Sulawesi Barat membangun dirinya sendiri setelah berpisah dari Sulawesi Selatan. Usman Suhuriah sangat runtut memaparkan potensi, problem, dan solusi atas arah pembangunan di daerahnya. Sebagai seorang yang pernah bergelut di dunia NGO (Non Government Organization) adalah pemandu di palagan barunya sebagai wakil rakyat secara kritis. Pengalamannya pun sebagai mantan komisioner kabupaten dan provinsi juga menjadi kompetensi untuk berbicara politik lokal dan nasional, yang tidak terkesan asbun. Itulah kekuatan buku ini. Datang dari orang yang paham masalah dan berada di tempat yang tepat sebagai pembuat regulator. Sehingga pesan, “Jangan melambat di lajur cepat: memajukan Sulbar memajukan Indonesia” begitu mengena.
Buku ini adalah kumpulan percikan pemikiran dari kolom “Legislative Corner” di Radar Sulbar yang terbit setiap Senin sejak September 2019 hingga Agustus 2021. Terdapat 73 artikel. Idenya faktual dan konstekstual. Faktual karena datang dari isu-isu yang sedang trend (viral). Kontekstual lantaran berhubungan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Sehingga, guna memahami Sulawesi Barat secara utuh – politik, ekonomi, sosial dan budaya – tidak ada salahnya jika melirik buku ini dan mulai membacanya.
Mengejar pembangunan adalah keniscayaan. Pertanyaannya, kepastian seperti apa yang kita kejar? Memindahkan Sulbar dari “halaman belakang” ke “halaman depan”. Sulbar masih dideskripsikan sebagai wilayah “halaman belakang” pembangunan di Indonesia. Posisi ini digambarkan melalui angka–angka makro, seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), angka harapan hidup, harapan lama sekolah, pengeluaran per kapita, tingkat pengeluaran, tingkat pengangguran terbuka, tingkat kemiskinan, gini hidup, dan seterusnya. Angka–angka ini belum menggembirakan. Hal yang sama juga terjadi pada angka makro lainnya, seperti Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan, pertumbuhan ekonomi, dan PDRB per kapita (hal 11).
Memindahkan problem ini ke “halaman depan” bukan pekerjaan gampang. Dibutuhkan peta jalan(road map) yang jelas dan misi yang terukur. Sulbar memiliki kekayaan sumber daya alam di sektor pertanian, perikanan, kehutanan, dan pertambangan. Punya kekayaan seperti itu sudah sepatutnya Sulbar memantapkan posisinya mencapai Visi Indonesia 2045. Sulbar yang masih berusia muda masih sangat mungkin dibentuk pada visi yang diimpikan. Tidak ada pilihan. Kita mesti adaptif lebih terhadap visi nasional. Dengan begitu, Sulbar akan memberikan kontribusi pada kemajuan wilayah dan kemajuan nasional. Memajukan Sulbar Membangun Indonesia bukan sekadar wacana yang membuat orang menggigil mendengarnya.
Di sinilah kemudian dibutuhkan “gas dan rem”. Jangan lupa pula “persneling”. Ngegas terus ngerem terus bisa–bisa remnya blong. Bisa fatal juga akibatnya. Ketiga elemen ini – gas, rem, dan persneling – wajib harmoni. Di samping variabel lainnya perlu pula diperhatikan seperti ban, kaca spion, seat bell, dll. Sebab, jangan sampai di lajur cepat tiba–tiba menepi minta bantuan derek. Itulah sebabnya, memacu kecepatan perlu ada indikator mengukur pencapaian.
Indikator–indikator itu adalah kekuatan sumber daya manusia (SDM), tata kelola pemerintahan yang baik, hubungan antarwilayah yang saling mendukung, daya dukung ekonomi yang menguntungkan, dan lingkungan yang terjaga dan berkelanjutan. Perubahan dari kelima indikator ini adalah kunci sejauh mana pembangunan melaju di lajur cepat dapat dicapai dari yang telah direncanakan (hal 18).
Cermin dan Jendela
MELAJU di lajur cepat selalu ada dua kemungkinan: tiba selamat atau fatal. Jika tiba dengan selamat maka cermin menjadi alat memuji diri sendiri dan jendela digunakan memuji orang lain yang terlibat di dalam kemajuan. Sebaliknya, jika fatal maka cermin menjadi evaluasi atas kegagalan, sebaliknya jendela digunakan mencari orang yang dapat dikambinghitamkan. Itulah dua tipe pemimpin: Pemimpin cermin atau pemimpin jendela. Dua–duanya punya sifat minor.
Penting dicatat, kewibawaan pemerintah (pemimpin) memiliki arti memberikan keberdayaan (strong power) untuk memotivasi dan mengembangkan keberdayaan. Pemimpin dalam wilayah provinsi (gubernur) harus menjadi tipe pemimpin pertama bukan tipe kedua, guna memuji mereka yang terlibat (bupati). Pola hubungan provinsi dengan kabupaten bukan hal sederhana. Hubungan itu kompleks. Terdapat ego sektoral. Keduanya mesti terbangun komunikasi yang baik. Sehingga dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan tidak terjadi tumpang tindih (overlapping). Idealnya, hubungan antarlevel (gubernur–bupati) berada di lajur efektif yang ditandai intensitas koordinasi, terintegrasi dan sinkron. Sehingga kinerja pemerintah dan tujuan pembangunan dapat terukur. Hubungan antarlevel ini bukan sekadar membangun keuntungan tetapi sekaligus membangun kepercayaan (trust). Hilangnya trust akan berbiaya mahal (hal 38–43).
Hal utama yang digarisbawahi oleh Usman Suhuriah adalah soal etika keadilan. Pengelolaan pemerintahan (pembangunan) tidak semata–mata menyangkut kesejahteraan ataupun kemakmuran. Terdapat hal lain yang tak kalah pentingnya, yakni etika keadilan. Ini bukan menyangkut hukum. Tetapi, menyangkut benar ATAU tepat. Ada hal–hal yang dianggap benar, namun belum tentu tepat. Dalam pandangan filsuf itu dinamakan “nicomachean etics”. Artinya, “You should never take more than you give” (jangan mengambil melebihi apa yang kau berikan).
Hal menarik dari buku adalah ide–ide kecil tentang hal–hal besar. Misalnya, bagaimana memanfaatkan bantaran sungai yang bernilai ganda: penghijauan dan penghasilan. Menanami sepanjang bantaran sungai dengan pohon aren sungguh sangat brilian. Sulbar adalah sungai. Wilayah itu dibangun oleh Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ulunna Binanga (Tujuh Sungai Tujuh Muara). Bantaran sungai jika dikelola dengan baik akan bernilai ekonomi, mengurangi pengangguran, di samping menjaga abrasi.
Selain itu, wilayah Sulbar yang agraris dan mayoritas didiami oleh petani, justru ironik lantaran kurangnya generasi muda yang mau terjun ke pertanian. Untuk memaksimalkan potensi itu dibutuhkan regenerasi petani. Adanya mitos bahwa bertani adalah pekerjaan yang tidak membanggakan menjadikan generasi muda tidak abai pada pertanian. Mitos ini harus diretas.
Program pemerintah yang bermimpi menciptakan sejuta petani milenial harus disambut. Pemerintah daerah menyiapkan lahan, mekanisasi pertanian modern, dan pasar produksi. Jika tiga hal ini terpenuhi maka regenerasi petani dapat diwujudkan.
Pada paragraf awal disebutkan, buku ini adalah refleksi dan perenungan penulisnya. Walaupun buku ini ditulis oleh seorang politisi namun konten yang dipaparkan bukanlah politik. Melainkan tentang pemberdayaan. Sehingga, buku ini wajib menjadi bacaan kalangan LSM, pengusaha, praktisi politik, dan birokrasi. Bukunya tebal. Tetapi, idenya lebih tebal.