Belajar pada Gelas Setengah Isi Setengah Kosong

oleh
oleh

Sebelum mengakhiri refleksi ini, mari kita pause sejenak. Sebagai Pembina atau Pelatih Pembina Pramuka, tanyakan pada diri Anda.

Ketika menghadapi anak didik yang “sulit,” apakah reaksi pertama Anda adalah mencari kesalahan atau mencari potensi?

Ketika kegiatan tidak berjalan sesuai rencana, apakah Anda fokus pada apa yang salah atau pada apa yang masih bisa diperbaiki?

Apakah cara Anda merespon masalah mengajarkan anak-anak untuk menjadi problem-solver atau problem-avoider?

Seberapa sering Anda menunjukkan kepada anak didik bahwa tantangan bisa menjadi peluang pembelajaran?

Jawaban atas semua pertanyaan ini akan memberikan gambaran tentang seberapa “setengah penuh” perspektif pembinaan Anda saat ini.

Pada akhirnya, filosofi “gelas setengah penuh” dalam konteks pembinaan Pramuka bukanlah tentang menyangkal bahwa hidup itu sulit atau bahwa masalah itu tidak ada. Ini tentang memilih sudut pandang yang memberdayakan diri sendiri dan orang lain untuk terus bergerak maju, terus belajar, dan terus tumbuh.

Dalam dunia pembinaan peserta didik kita tidak hanya bertanggung jawab terhadap kesehatan mental diri sendiri. Tetapi juga terhadap pembentukan karakter puluhan anak muda yang melihat Pembinanya sebagai role model. Maka cara memandang “gelas” dalam hidup seorang Pembina Pramuka atau Pelatih Pembina Pramuka akan menjadi pelajaran hidup bagi mereka.

Jadi ketika hari ini menghadapi tantangan dalam pembinaan—entah itu anak yang sulit diatur, kegiatan yang tidak sesuai rencana, atau tekanan dari berbagai pihak—ingatlah bahwa Anda memiliki pilihan. Anda bisa memilih untuk melihat gelas yang setengah kosong dan terjebak dalam frustrasi. Atau lebih melihat gelas yang setengah penuh dan menemukan peluang di dalamnya.

Pilihan ada di tangan kita, ingatlah, anak-anak di pangkalan itu sedang memperhatikan pilihan yang Anda buat. Sebab pada akhirnya, gelas paling bermakna bukanlah yang selalu penuh, tapi yang selalu siap diisi kembali. (*)