MAJENE, Mandarnesia.com-Beberapa tahun terakhir, Desa Maliaya, Kecamatan Malunda, Majene, Sulbar terus dilanda abrasi pantai.
Tak tanggung-tanggung, 30-an pemukiman penduduk sepanjang 1 kilometer dari arah Selatan hingga perbatasan Tapalang terancam direlokasi.
Saat wartawan media ini mengunjungi salah satu rumah warga di Dusun Joleng Mea, Perdi mengatakan, menjelang akhir tahun hingga pada awal tahun kondisi rumahnya bagian belakang terus diterjang ombak besar.
“Sudah tiga lottang (petak) rumah saya bongkar,” tutur Perdi.
Perdi bercerita, apabila akhir tahun 2019 bibir pantai belum juga ditanggul, maka kemungkinan rumah miliknya semakin terkikis dan mengungsi ke tempat lebih aman.
“Bayangkan, air laut sudah masuk di samping rumah,” ujarnya.
Tetangga Perdi, ketika ditemui saat sibuk membuat penahan ombak dari batang kayu di belakang rumahnya, juga mempredikasi akhir tahun ini, terjangan ombak bakalan masuk di kolong rumahnya.
“Seandainya tidak ada juga pohon di belakang rumah, pasti air sudah masuk. Karena sisa beberapa meter saja, jarak rumah dengan bibir pantai, ” tutur Mustari.
Sambil sibuk merapikan tanggul mini (terbuat dari batang kayu) penahan ombak itu, Mustari mengatakan, sejak tahun 2016 tim dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi III, dengan wilayah kerja: Wilayah Sungai (WS) Palu Lariang, WS Parigi Poso dan WS Kalukku Karama, bekunjung ke pesisir pantai Desa Maliaya dan melakukan pengukuran.
“Mereka berjanji akan membuat tanggul. Tapi tidak ada juga realisasinya sampai sekarang. Hanya janji,” keluh Mustari.
Mustari melanjutkan sambil berharap, mulai dari pemerintah desa, kabupaten, provinsi, dan pusat kiranya memberikan perhatian serius atas kondisi tersebut.
Usai dari Mustari, media ini mencoba menemui Kepala Desa Maliaya di kantornya.
“Pak desanya baru keluar tadi pak. Cobaki ke warungnya,” cetus salah satu stafnya.
Berhasil ditemui, Supardi membenarkan pernyataan warganya. Jika pada tahun 2016 tim dari Balai Wilayah Sungai Sulawesi III pernah berkunjung ke Desa Maliaya untuk mengukur bibir pantai. Namun, lagi-lagi ia menilai, hanya sebatas janji.
“Karena sejak 2016, 2017, 2018, sampai hari ini realitanya belum ada. Itulah sampai kita tenang-tenang, tapi sesunggunhnya tidak. Kami tetap memikirkan ini,” jelas Supardi menjawab pertanyaan media mandarnesia.com dengan nada santai di depan warungnya.
Sebenarnya, kata Supardi persoalan tanggul di pesisir pantai sudah beberapa kali dibangun. Melalui dana Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM). Hanya, beberapa tahun saja sudah mulai ambruk.
“Memang kami amati, kalau hanya 100 juta, 200 juta, itu sia-sia saja dananya. Mestinya tanggul batu gajah yang dibangun. Jadi memang dana APBN yang kami harapkan,” jelas Supardi, Kamis (30/1/2019).
Foto: Busriadi Bustamin
Reporter: Busriadi Bustamin